Oleh Herdi Pamungkas
“Ah, bhatin saya belumlah sehebat Ki Ageng. Tidak mengapa seandainya Ki Ageng dan lainnya tidak ke Khendarsawa, izinkanlah saya.” berbalik tanpa menunggu jawaban, berkelebat menyatu dengan angin senja.
“Secepat angin?” gumam lelaki bertubuh gempal tak berkedip.
Ki Canthulo dan Ki Donoboyo melempar tatap ke arah Kebo Kenongo, setelah
Ki Lontang menghilang dari pandangan.
“Ikutilah Ki Lontang andai andika berdua tertarik untuk itu,”
“Tindakan Ki Lontang sempat menggoyah batin kami. Haruskah berbuat yang serupa atau cukup disini menyertai Ki Ageng?”
“Andika telah memiliki ilmu yang sama. Ragukah akan ilmu dan batin andika?”
“Kami tidak meragukan ilmu. Mungkinkah keraguan yang kami dapatkan karena tarap pencapaian ilmu belumlah seperti Ki Ageng. Batin ini terhalang, mata hati tertutup rapat.”
“Lenyapkan keraguan dalam batin andika. Ikutilah kehendak mata hati, gunakanlah ilmu itu sebagai alatnya.”
“Kiranya kami belum sanggup menggunakannya.”
“Semuanya akan terjawab andai andika tepat menggunakannya.”
“Terangkanlah sedikit alasan Ki Ageng tidak mengikuti jejak Ki Lontang?”
“Bukankah saya telah menjelaskan jauh sebelum Ki Lontang datang?”
“Ya, mengikuti batin dan ilmu. Tetapi batin kami sumpek?”
Kebo Kenongo melangkah pelan, mereka mengikuti. Pintu gerbang perkampungan Pengging telah tercapai.
“Tahukah andika tentang kematian Srinalendra Kresna, Resi Drona, ataukah
Resi Bisma dalam Mahabharata parwa perang Bharatayuda?”
“Bukankah kami pernah menyaksikan lakonnya yang dibawakan Ki Ageng Tingkir waktu mendalang.”
“Saya ingat.” timpal Ki Chantulo, “Srinalendra Kresna telapak kaki kirinya kena panah saat bertapa, Resi Drona menjemput kematiannya sambil duduk di medan perang Kuru Setra namun pedang Dresta Jumena membabat lehernya padahal beliau sudah mati, dan Resi Bisma sekujur tubuhnya tertusuk ribuan anak panah, kematian beliau sesuai keinginannya…”
“Saya tidak mengerti apa yang andika semua perbincangkan?”
“Kisanak, maksudnya ketiga orang tadi bisa mengatur kematian dan tahu darma serta karmanya…” jelas Ki Chantulo.
“O,” lelaki gempal gelengkan kepala. “Hebat sekali, adakah ajaran Syekh Siti Jenar demikian?”
“Syekh Siti Jenar adalah sosok yang telah memahami hakikat hidup, terang akan makna taqdir, batinnya tajam melebihi ujung pedang…”
bersambung…..
mana terusanya gan…
terusannya om.. rame
Salam Keselamatan
menjalankan 7 gunung
apakah “ilmu manusia” sudah begitu hebatnya
memberi “yang hidup” dengan kematian secara “kata” dan “fakta”
padahal “yang mati” dirajut dari “miim wau taa” yang menyimpan makna
begitulah perbuatan ilmu manusia jika bertanda “serabut kelapa”
bukankah lebih “bijak” jika “tak ada kehendakNya” maka wajib “diam” saja
sehingga “ayat suci” tidak dijalankan dengan sembarang intreprestasi liar makna
dan sehingga menyebabkan “membunuh,mencaci,memfitnah” dengan asas “atas nama” pemilik IlmuNya
sungguh sudah terlalu pengetahuan dan perbuatan manusia dalam mengotori “ilmuNya”
tunggulah oleh kalian semua karena setiap jaman ada taqdirNya, karena setiap jaman ada “saksiNya”
awal dan akhir jamanNya sudah tentu ada tanda “diantara”
“hati” dan “mata” tak padu maka tak akan temukan keindahan “perjalanan IlmuNya”
padahal yang dibawa “sang begawan kata” dengan kisah “umpama” sedang mengajarkan “berperang secara kata”
“syekh maghrib” julukan seorang “berlegalitas Rabbika”, “Maulana Malik Ibrahim” nama sejarahnya
karena menggusung “taktik ilmu” yang didapat dari “jejak kata” pendahulunya
sudah tentu berasal dari “Sang Nabi” yang Mulia, yang jujur dan lurus dalam melontarkan kata bernilai “mutiara”
“9 sunan” adalah salah satu kecerdasan “tata kata” untuk “ilustrasi ilmuNya”
menjalankan “siin” diantara hulu hilir “dua nuun” berdasar ketentuan KalimatNya
dengan menuliskan rumah “merpati” untuk menjelaskan bukanlah rumah “gatot kaca”
ada maksud ajaran “jasad dan ruh” harap dijalankan sesuai “jalur” ketetapan IlmuNya
ada ajaran “wangi” dengan “siin laam” dan ada ajaran “jaya” dengan “baa yaa” yang mengikuti ilmu yang ditata
tak kenal maka tak tahu “sang pembawa Ilmu” sedang “meninggikan KalimatNya”
tak ikuti “sang begawan kata” maka tak tahu muara ilmunya diarahkan kepada “ketetapan
KalimatNya”
yang jauh “dicari” namun yang dekat tidak “diminati” akal maupun hati
sehingga kebanyakan manusia hampir selalu mendalami ilmu tanpa “sanubari”
lihat saja perbuatan “caci maki” dengan ilmu manusia sebagai bukti perbuatan keji
yang mewakili jiwa manusia yang berilmu dengan gengsi menyelimuti “hati”
begitulah jika tak menyadari bahwasannya ada ilmu saat di”tangan” dan ada ilmu saat di”kaki”
dan begitulah jika “mahdzab”, “tafsir”, “fiqih” digandrungi tanpa ilmu “fikri”
sehingga mengabaikan “legalitas rabby” yang seharusnya “terpatri” dalam “langkah ilmu yang suci”
dasar kalian manusia berilmu “kerbau” mengaku ber”ilmu suci”
siapa yang bilang, siapa yang diberi, siapa yang menyepakati berlandaskan “al haqqi”
siapa yang diikuti, siapa yang menjalani, siapa yang dipatuhi berdasarkan “al qadri”
apa yang diminati, apa bentuk ilmu “fikri”, apa yang dianggap ilmu “suci” dengan esensi “al kitabi”
sudah saatnya “bocah angon” memberi sentuhan makna “hakikat” dan makna “duniawi”
agar alama “yang hidup” dapat mengunci ilmu “yang mati” yaitu kehidupan yang hakikat
membatasi yang duniawi
dengan pendekatan kulit kelapa dikelupas akan temukan sabut didalamnya yang menghiasi
sementara masih ada “batok” “daging kelapa” “air segar” yang berstatus sebagai “isi” dari
ilmi
jika “ilmi terlepas” maka sabut yang seharusnya “melindungi” digunakan untuk “menghalangi”
lihatlah kesalahan “#perbuatan” “meninggikan yang satu” namun “#berbentuk perbuatan” diliputi pemahaman secara tersendiri
“bahasa arab yang berketentuan” sudah pasti “beda laksana” dengan “bahasa arab biasa”
lantas jangan menyangka berkoar dengan “bahasa arab biasa” akan berstatus “perwakilan laksana IlmuNya”
karena “#segala sesuatu” berjalan atas “#segala bentuk” harus didasari KetentuanNya yaitu “kaaf laam baa”
itulah salah satu makna “memperjalankan #dua miim” berkoridor “legalitas Rabbika” “legalitas kitab milik sang Pencipta”
dasar manusia ber”ilmu sekarat” bersabuk “ilmu prasangka” namun bertingkah “jumawa” tanpa senjata “trisula wedha”
tahukah kalian semua “jim miim wau” dalam ikatan makna istilah kata “jumawa” yang diliputi “kaaf laam baa”
ibarat seseorang berkata “akulah seseorang yang harus dipatuhi dalam menjalankan perintahNya”
berkata “gombal” menjalankan tindakan “fakta” mewakili laksana dan mengabaikan sang Nabi yang berkata “kaaf faa raa”
sudahlah jangan berselisih lagi, cepat cari “ki santang” atau dengan julukan nama “sang imam ketiga”
sebagai penerus “bocah angon” dibumiNya, dan sebagai pembawa amanatNya dan pemberi peringatan “ultimatum SiksaNya”
bandung -> bocah angon
catatan “ilmu” dikaki
*manunggaling adalah satu kesatuan langkah “pengetahuan dan perbuatan” manusia
satu guru (kaaf) satu ilmu (laam) satu yang dituju (baa)
*kawula gusti adalah yang terikat dengan Kalimat Alloh (Al Quran)
manunggaling kawula gusti diimplementasikan dalam bentuk “wahdatul wujud”
yaitu satu bentuk kekuasaan yang memiliki “legalitas rabbika” sebagai “bentuk perwakilan
KekuasaanNya” dalam menjalankan satu guru (kaaf) satu ilmu (laam) satu yang dituju (baa)
satu guru (kaaf) -> ketetentuan/ketetapan -> wali Alloh -> Pemimpin Islam
satu ilmu (laam) -> langkah/arah -> ajaran Kitab Alloh -> Hukum Al Quran
satu yang dituju(baa) -> metode/cara -> Negara Kekuasaan Alloh -> Negara Islam
“Sang Begawan kata” dilukiskan dalam hadits “Nabi Muhammad Rasul Alloh” yang bertanda
#”tiga orang disisi pembendaharaan” mengisyaratkan “tokoh” yang digunakan dalam kisah yaitu “jayabaya”, “siliwangi”, “syekh siti jenar”
#”putra khalifah” mengisyaratkan pemilik kisah yaitu “syekh maghrib” yang memiliki bentuk keilmuan bertipe “laki-laki” yang didalamnya terdapat ilmu “9 sunan” dengan mengisahkan seperti tokoh “9wali”
#”yang berperang(membunuh kebodohan ilmu) dengan cara berbeda” mengisyaratkan cara eksplanasi kisahnya yang berbau “ajaran” hindu atau budha demi menjaga “makna ilmu sesungguhnya” agar tidak terlihat “musuh” yang berkuasa setelahnya
#”jika melihatnya berbaiatlah walaupun merangkak diatas salju” mengisyaratkan agar jika
menemukan “kisahnya” segera “berbaiat(membeli pemahaman dengan ilmu)” dengan “merangkak (tunduk dan patuh)” walaupun membikin “badan menggigil(diatas salju)” saat menghimpun pemahaman akan ajarannya.
#”khalifah Alloh Al Mahdi” memberikan “legalitas rabbika” kepada “Maulana Malik Ibrahim” yang merupakan pemilik nama “syekh maghrib”. Yang memberikan legalitas rabbika adalah “Nabi Muhammad Rasul Alloh” yang memiliki “legalitas Rabby” yaitu pembawa ilmu Al Quran dikali pertama atau di awal jaman.
demikian sedikit penjelasan, yang sebenarnya banyak “hal yang mendasari” namun karena tidak boleh berlebihan karena “telaga” akan banjir.
Sedikit pesan “bocah angon” di akhir jaman
Alloh hanyalah “kata” yang terucap, maka janganlah melakukan perbuatan yang asal “ucap”. Al Quran mengajarkan cara santun kepada manusia agar selalu bertindak dalam kehidupannya berdasarkan pengetahuan dan perbuatan yang diliputi “ketentuan IlmuNya”. sehingga sadar setelah “ajal” akan bertemu dengan “Sang Pencipta” “Sang Pemilik Jiwa”
jangan seperti “pemuda” yang ilmunya sebatas “kerongkongan” saja yaitu hanya sebatas sabut kelapa yang digantung pada lehernya(hablu min masad), baru bisa “bahasa arab biasa” mencari “harta benda dunia” di “panggung media” dengan “atas nama IlmuNya”. Celakalah manusia bodoh seperti ini karena mereka berilmu “betis” tanpa telapak yang menjejak bumi, layaknya “yajuj” “majuj” yaitu keilmuan yang didasari keturunan secara pengetahuan(yajuj) dan secara perbuatan(majuj) yang diikuti selera “ikut-ikutan”,itulah ilmu “budaya kera”!!! lebih suka menutupi badan dengan bulu(ilmu manusia) daripada “pakaian Taqwa” ilmu berdasarkan ketentuan ketetapan KalimatNya.
Ingatlah!!!
Kehidupan yang kekal adalah kehidupan yang akan datang setelah “nyawa” terlepas dari tubuh manusia. Sudahkah anda semua yaqin akan terlepas dari “siksaNya” di “akhir jaman” ini.
bocah angon hanya bisa “menangis dan tertawa” melihat kondisi berkehidupan anda semua diseluruh dunia menjelang tanda “akhir jaman” segera tiba.
Manusia yang telah mencapai tingkat aktualisasi diri yang tinggi, hubungan antara aku dan Dia. Karena sudah menjadi lakon kehidupan bahwa wali hanya ada sembilan tidak ada wali yang kesepuluh… Tidak ada satupun ajaran beliau yang menyimpang dari ajaran agama manapun baik dari Islam, Kristen, Hindu dan Budha (Ajaran agama yang masih murni dan kebenaran itu datangnya hanya dari Allah semata bukan dari ajaran katanya).