Oleh Herdi Pamungkas
“Terimakasih,” Syehk Siti Jenar berjalan berdampingan dengan Sunan Kalijaga menuju ruangan tengah masjid, menghampiri wali delapan yang sedang berkumpul.
“Selamat datang, Syekh.” sambut Sunan Bonang, menyodorkan kedua tangannya menyalami. “Silahkan,”
“Siapakah Syekh ini?” tanya Sunan Muria.
Syekh Siti Jenar tidak menjawab, lalu menatap mata Sunan Kalijaga, menembus batinnya, seraya berbincang dengan batin.
‘Syekh, tidak seharusnya kisanak berbicara pada wali yang lain menggunakan batin. Pergunakanlah lahiryah kisanak, karena mereka bukan saya.’ ujar batin Sunan Kalijaga.
‘Saya kira mereka sama dengan kisanak. Jika demikian berarti mata batin mereka tuli dan buta. Hanya saudara Sunan yang paham batin saya. Baiklah jika saya harus berujar secara lahiryah, laksana orang-orang yang tidak paham pada dirinya dan….’
‘Sudahlah, Syekh saudaraku. Batin kita tidak harus berbicara seperti itu. Karena mereka bukan kita, kita bukan mereka. Punya cara masing-masing untuk memahami tentang wujud, maujud dan Allah. Mereka berlaku layaknya orang kebanyakan.’
“Apa yang sedang saudara bicarakan Sunan Kalijaga dan Syehk Siti Jenar? Sebaiknya kita kembali pada alam lahiriyah.” Sunan Bonang memecah keheningan. “Sebab yang hadir disini bukan hanya saudara berdua, ada yang lainnya.”
“Baiklah Kanjeng Sunan Bonang.” ujar Syekh Siti Jenar. Lalu dia duduk bersila disamping Sunan Kalijaga.
“Siapakah sebenarnnya Syekh ini? Apakah termasuk para wali seperti kita-kita ini?” tanya Sunan Gunung Jati.
“Saya Syekh Siti Jenar…” lalu melirik ke arah Sunan Kalijaga, seraya kembali ingin berbincang menggunakan batin.
‘Jangan, berbicaralah secara lahiryah.’ itu jawaban batin Sunan Kalijaga.
Syekh Siti Jenar mengangguk, seraya meneruskan perkataannya,”..saya hanya manusia biasa dan rakyat jelata. Namun saya secara tidak sengaja mendengar perbincangan Kanjeng Sunan Bonang dan Kanjeng Sunan Kalijaga ketika di atas perahu. Waktu itu Kanjeng Sunan Bonang sedang mengamalkan ilmu ‘saciduh metu saucaping nyata’…”
“Ilmu apa itu Kanjeng Sunan Bonang?” tanya Sunan Gunung Jati, melirik ke arah Sunan Bonang.
“Ilmu ‘kun payakun’, jadilah, maka jadi. Apa pun yang diucapkan akan mewujud atau jadi.” terang Sunan Bonang.
“…benar. Ketika itu wujud saya berupa seekor cacing tanah. Setelah mendengar wirid ilmu tadi,lalu saya amalkan, seketika wujud saya berubah menjadi sekarang ini. Maka wajar jika saya pun disebut Syekh Lemah Abang. Cacing tadi terbungkus tanah berwarna merah, hingga saat ini saya pun masih memiliki ilmu tadi serta sekaligus mempelajari Islam secara mendalam. Ilmu Islam yang saya pelajari sudah diluar dugaan, mencapai tahap ma’rifat, tidak terduga. Namun saya tetap bukan seorang wali seperti saudara-
saudaraku yang berkumpul hari ini. Saya hanyalah rakyat jelata dari pedesaan yang berada di wilayah kekuasaan kerajaan Demak “Andika tidak dianggap sebagai seorang wali karena asal-usul yang kurang jelas.” ucap Sunan Giri.
“Saya bukan orang yang memiliki ambisi dan gila gelar, hanya untuk mendapat sebutan wali. Hingga saya pun menganggap bahwa diri saya hanyalah manusia biasa dan lahir sebagai rakyat kebanyakan. Namun kisanak menyebutkan tanpa asal-usul yang jelas.
Padahal yang namanya manusia jelas memiliki asal-usul, jika menganggap bahwa manusia ada yang tidak memili asal-usul berarti kisanak tidak memahami siapa diri kisanak sebenarnya? Dari mana asal kisanak?” ujar Sekh Siti Jenar.
“Andika jangan memutar balikan ucapan dan bermain kata-kata!” suara Sunan Giri meninggi.
‘Syekh,’ Sunan Kalijaga menatap Syekh Siti Jenar, seraya berbicara dengan batin. ‘Saudaraku sebaiknya memaklumi keadaan secara lahiryah yang terjadi sekarang ini…’
‘Baiklah,’ batin Syekh Siti Jenar memberi jawaban.
“Kanjeng Sunan Giri, sudahlah! Kita tidak harus memperbincangkan asal-usul.” Sunan Bonang memahami pembicaraan batin Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. “Sebaiknya kita berbincang tentang upaya penyebaran agama Islam di tanah Jawa ini.”
“Baiklah, Kanjeng Sunan Bonang.” Sunan Giri menyetujui.
“Bukannya saya tidak ingin lama-lama berbincang-bincang dengan para wali yang agung di sini. Namun saya masih ada keperluan lain, disamping akan berusaha membantu para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Izinkanlah saya untuk berpamitan,” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya.
“Andika mesti ingat ketika menyebarkan agama Islam yang agung ini jangan sampai keluar dari aturan para wali.” ujar Sunan Giri.
“Mohon maaf, Kanjeng Sunan Giri. Karena saya bukan wali, tentunya tidak terikat dengan aturan wali. Mungkin saya akan mengajarkan dan menyebarluaskan agama Islam dengan cara saya sendiri.” Syekh Siti Jenar seraya menyalami semuanya, lalu Sunan Bonang dan yang terakhir Sunan Kalijaga.
‘Saudaraku selamat berjuang, mungkin pada akhirnya kita harus bertabrakan. Namun itu secara lahiryah….’ batin Sunan Kalijaga.
‘Tidak mengapa saudaraku Kanjeng Sunan Kalijaga…itulah tujuan menuju Allah dan jalan yang berlainan.’ Syekh Siti Jenar melepaskan tangan Sunan Kalijaga, seraya membalikan tubuhnya dan keluar dari masjid Demak diantar oleh tatapan para wali yang masih berdiri.
“Kanjeng Sunan Kalijaga, benar tadi batinmu berujar pada Syekh Siti Jenar.” Sunan Bonang menatap Sunan Kalijaga.
“Tinggal menunggu waktu, Kanjeng. Itu semua kehendaknya..” jawab Sunan Kalijaga.
“Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan Kalijaga, apa maksud pembicaran andika berdua?” tanya Sunan Giri.
Bersambung………..
sambungannya dong…tak tunggu yo
ah mna sambungan’a
menarik sekali kisanak.tapi sumbernya darimana ya?
sebagian hasil wawancara dengan orang terkait (yang memiliki ilmu tsb), investigasi, dll
sambungannya mana?
assalaam..singapunten kang klo boleh tahu referensi nya dari mana? maturnuwun
wassalaam…
Alhamdulillah.. Semoga kita semua senantiasa dalam bimbingan-NYA.. Amien!
Salam,
Terima kasih banyak suatu penulisan yang berwibawa dari seorang ahli sufi. Kalian rindu tak pada mereka semua itu? Kalian boleh berbicara terus dengan mereka. Amalkan Doa Nurun Nubuwwah….Semuanya tidak mati. rujuk semula Surah alBaqarah ayat 154.
wasallam
Oh ya, ana terlupa. Setiap anugerah atau keistimemaan yang ada pada seseorang itu bukanlah kerana amalannya…tetapi ianya semata-mata bergantung kepada kehendak dan keredhaan Allah. Usah mengatakan ana tidak benar kalau mengamalkan Nurun Nubuwwah tapi tak bisa berbicara secara langsung dengan Sheikh Siti Jenar atau Kanjeng Sunan Kalijaga. Biarpun begitu kita terus berusaha kerana kalau kita diizinkan bertemu “face to face” ianya membahagiakan. Mohon Maaf.
Wasallam.
sambungannya manaaaaaaaaaaaaaaaa ?????
Saya senang, masih ada yg mau mengagumi para leluhur
syukran katsira,….semoga berkah bwt kita,dan mendapt karomahnya.amin wa ya muji bas syaillin
d tunggu lanjutannya….kalo boleh kupas tentang “kitab suluk dewa ruci”
kenapa ga di terang kan bahwa syeih siti jenar itu lahir dari rahim manusia
teruskan dan jelas kan asal usulnya?
thanks very much… minta tolong sambungannya kapan yang akan di lanjutkan? karena kami butuh sekali sebagai acuan pendidikan tentang orang-orang sufi yang menyatu dengan zat ajal
insya allah akan dilanjutkan…..tunggu aja….
sipppppppppp…………
Kesuwen plo…!
Tuliakan cerita selanjutnya kami tunggu,sangat menarik dan banyak makna yang sangat berfaedah dalam kehidupan.Perlu sekali untuk kita menjadi sejuk dengan membaca ceritera yang bagus.Terima kasih
Bagus sekali masih ada yang melestarikan ceritera 2 yang patut menjadi tuntunan dan panutan hidup,menyejugkan hati dan pikiran kita dikala senggang.Untuk berikutnya/kelanjutannnya kami tunggu dapat menjadi inspirasi yang positif,serta sumber ceritera bagi generasi penerus.Terima kasih
Sunguh menarik membaca tentang syekh siti jenar
ku tunggu sambungannya
iya … sambungan ceritanya mohon segera ditayangkan krn kami sgt tertarik dengan jalan cerita yang penuh makna
hebat…
Menarik skli gan???
Sambunganny