Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Cerber’ Category

“Apa salahnya jika kita mencoba? Siapa tahu menang.” tambah Loro Gempol seraya menggenggam gagang goloknya.

“Benar, kita mesti mencoba dan berusaha. Untuk mengukur kekuatan kita, sudah semestinya begitu.” terang Joyo Dento. “Namun dalam tindakan percobaan kita harus menciptakan strategi penyerangan yang berbeda. Agar kita pada waktunya tidak konyol dan membahayakan diri sendiri.”

“Jika demikian ijinkan saya menyiapkan pasukan untuk menyerbu Demak Bintoro, Ki Benowo.” Loro Gempol Bangkit dari duduknya, langkahnya berat dan pasti.

“Tunggu dulu, Gempol!” Kebo Benowo berteriak.

“Kenapa mesti menunggu lagi? Bukankah kita akan mencoba kekuatan?” langkah Loro Gempol terhenti di depan pintu.

“Benar, Ki Gempol. Namun ingatlah yang saya katakan tadi. Meski dikalangan rakyat miskin sedang terjadi kekacauan, namun itu belum seberapa.” terang Joyo Dento. “Kekacauan tadi hanya bersifat lokal, sangat kurang berpengaruh terhadap stabilitas keamanan negeri Demak Bintoro. Sebaiknya sebelum melakukan penyerangan sebarkan dulu kekacauan tadi hingga merebak seantero negeri Demak Bintoro.” urainya.

“Benar, Gempol. Apa yang dikatakan Joyo Dento sebaiknya diikuti, karena dia sudah saya angkat sebagai penasihat.” ujar Kebo Benowo, seraya menepuk bahu Loro Gempol.

“Baiklah jika itu perintah Ki Benowo.” Loro Gempol menganggukan kepalanya, seraya kembali ke tempat duduknya.

Bersambung………………………

Read Full Post »

Oleh Herdi Pamungkas 

“Saya setuju, Ki.” pengemis paruhbaya bangkit. “Jika demikian marilah kita songsong kematian…saya ingin mati!” teriaknya. Selanjutnya diikuti oleh para pengemis lainnya.

Para pengemis bangkit dari duduknnya seraya berjalan-jalan keliling sambil berteriak-teriak menyongsong kematian. Ada juga yang nekad membenturkan kepalanya ke atas batu hingga pecah dan meninggal, ada juga yang terus berjalan menunggu ajal tanpa makan.

“Hahahaha…mungkin itulah yang dimaksud Joyo Dento.” Kebo Benowo mengawasi para pengemis sambil tersenyum.

***

“Hebat andika Joyo Dento.” puji Kebo Benowo seraya menepuk-nepuk bahunya. “Sekarang keadaan negeri Demak Bintoro akan dilanda oleh kekacauan, serta krisis kepercayaan. Itu semua alhasil dari hasutan kita agar masyarakat miskin antipati terhadap penguasa. Benar-benar cerdik daya pemikiran andika, Dento.”

“Itulah yang harus kita ciptakan. Strategi pertama untuk menggoncang keaadaan negara. Setelah ini berhasil dan di dengar beritannya oleh para penguasa negeri Demak Bintoro, maka pertama-tama mereka akan mencari tahu penyebabnya.” ujar Joyo Dento.

“Mungkinkah mereka akan menangkap kita sebagai penghasut?” tanya Loro Gempol.

“Sangat tidak mungkin, Ki.” jawab Joyo Dento yakin.

“Kenapa? Bukankah kita penghasutnya?” timpal Kebo Benowo.

“Karena kita bukan menghasut tapi berbicara berdasarkan kenyataan. Mereka pun tidak mudah menuduh kita sebagi pengasut, dalam menciptakan kekacauan di negeri Demak Bintoro tanpa adanya bukti yang kuat.” terang Joyo Dento.

“Benar juga, Dento.” Kebo Benowo menganggukan kepala.
 

“Jika keadaan negara sudah kacau balau, rakyat tidak percaya lagi pada penguasa, maka mereka akan sibuk. Dalam keadaan seperti itulah kita mengadakan tindakan.” Joyo Dento mengepalkan tangannya.

“Melakukan kudeta?” celetuk Loro Gempol.

“Apa mungkin kita mampuh menggulingkan kekuasaan Raden Patah?” kerut Kebo Benowo. “Karena kekacauan seperti ini tidak seberaba, jika dibanding dengan kekuatan negara Demak Bintoro yang sesungguhnya. Lalu kita juga harus berkaca, apa mungkin kekuatan kita sudah cukup untuk melakukan penyerangan?”

Bersambung……………..

Read Full Post »

Oleh Herdi Pamungkas

“Terimakasih, Ki Benowo.” Joyo Dento menghela napas, “Saya sebetulnya sejak dulu mencari teman dan orang yang ingin  melakukan pemberontakan, sekaligus penggulingan kekuasaan  terhadap Raden Patah. Namun kini saya baru menemukan orang yang  benar-benar punya niat dan tujuan yang sama dengan saya. Jadi  tidak ada salahnnya jika saya pun mendukung gerakan ini.”

“Kita tidak salah bergabung, Dento.” ujar Kebo Benowo.

“Hanya sayang, yang semestinnya Ki Ageng Pengging yang harus maju  dan bergabung dengan kita sama sekali tidak tertarik. Ki Ageng  Pengging sesungguhnya memiliki darah biru yang sangat kuat,  karena beliau keturunan raja Majapahit.” Joyo Dento berhenti  sejenak, “Namun meski pun demikian andikalah yang ternyata berani  maju, Ki Benowo. Tidak ada salahnya, saya akan mendukung. Hanya  dalam hal ini kita harus punya strategi yang tepat. Seperti yang  saya uraikan pertama kali.”

 “Ya, tentang pembicaraan semula. Lanjutkan apa rencana tadi?”  pinta Kebo Benowo. “Baiklah,” ujar Joyo Dento. ***

 “Dengarkan para pengemis!” teriak Kebo Benowo, matanya menyapu  para pengemis yang bersila di pinggir jalan menuju pasar. “Kenapa  andika semua mesti jadi pengemis? Tidak inginkah hidup mewah  seperti para penduduk kota Demak Bintoro? Tidak inginkah kalian  menjadi orang kaya, seperti para pejabat negara? Bukankah mereka  itu manusia seperti kita? Harus sadar pula bahwa kita pun  memiliki hak yang sama seperti mereka. Tidak sadarkah jika para  pejabat Negeri Demak telah mendzalimi kalian semua? Membiarkan  kalian terlantar dipinggiran jalan. Sementara mereka bersenang- senang di pusat kota Demak Bintoro. Tidak sadarkah bahwa mereka  telah melupakan kita selaku rakyat? Mereka telah menelantarkan  kita dalam lingkaran kemiskinan dan penderitaan. Kalian harus  paham akan semua itu. Sesungguhnya hak kalian telah dirampas oleh  mereka.”

“Jadi kami mesti bagaimana, Ki? Sedangkan kami pun tidak ingin  menjadi orang miskin.” ujar seorang pengemis paruhbaya.

“Ingatlah, bahwa kalian memiliki hak yang sama seperti para  penguasa negeri ini. Mintalah hak kalian!” ujar Kebo Benowo.

“Tidak mungkin? Mustahil keinginan kita dikabulkan oleh para  penguasa dzalim yang tidak peduli akan nasib rakyatnya, yang  miskin seperti kami.” ujar si pengemis paruhbaya.

“Jika tidak mungkin menurut kalian, tidak perlu menyesal dengan nasib yang dialami. Karena kehidupan dunia ini hanyalah sekejap,  setelah itu kita akan mati. Untuk itu biarkanlah mereka itu  menikmati hidupnya sebagai penguasa, karena mereka hanyalah  mayat-mayat hidup yang menunggu kematian. Sedangkan kematian  merupakan pertemuan kita dengan Sang Pencipta, untuk menemui  kenikmatan yang abadi.” urai Kebo Benowo.

“Benarkah kematian itu merupakan kenikmatan yang abadi dibandingkan dengan para penguasa yang sekarang sedang menikmati  kesenangan?” kerut pengemis paruhbaya.

“Benar, karena mereka pun akan mati. Setelah mati maka ditangisi  oleh keluarganya, lalu harta yang mereka agung-agungkan  ditinggalkan untuk diperebutkan oleh keturunannya. Jadi apa  artinya harta kekayaan juga kekuasaan. Toh, kita pun akan mati  dan meninggalkan semua kesenangan duniawi yang bersifat sekejap. Bayangkanlah kesenangan setelah kematian. Bukankah nenek moyang kalian tidak pernah ingin kembali ke dunia ini dari kuburnya?  Mengapa demikian? Karena mereka menikmati kematian yang teramat menyenangkan dan menentramkan.” Kebo Benowo yang memahami secara  dangkal ajaran Syekh Siti Jenar, mencoba mengurai sesuka hatinya.

“Benar juga yang andika katakan, Ki.” si pengemis paruhbaya  mengagguk-anggukan kepala, begitu juga yang lainnya. “Memang  kehidupan ini hanyalah samsara, penderitaan dan kesengsaraan.  Sedangkan kematian merupakan nirwana, kesenangan yang teramat  membahagiakan. Karena bisa melepaskan kita dari berbagai  penderitaan.”

 “Itu benar, Kisanak.” Kebo Benowo mengacungkan jempolnya.  “lihatlah mereka yang tadinya hidup susah, lalu dalam keadaan sakit dan sekarat, akhirnya mati tersenyum. Mereka mengakhiri  segala penderitaan dengan kematian. Untuk apa kita hidup di  negeri mayat, jika itu bukan mayat yang sesungguhnya. Mereka  semua hanyalah mayat-mayat berjalan, tidak memiliki rasa dan  kepekaan. Meskipun punya jabatan dan kekayaan namun tidak bisa  mereka nikmati. Maka kematianlah sesungguhnya kenikmatan setiap  manusia, yang harus kita raih dan dapatkan.”

Bersambung…………

Read Full Post »

 Oleh Herdi Pamungkas

“Meski saya telah berkali-kali memikirkannya belum juga menemukan cara yang tepat, Gempol.” Kebo Benowo menempelkan telunjuk dikeningnya. Lalu bangkit dari duduknya, menggendong kedua tangannya dibelakang, dahinya berkerut-kerut, kakinya melangkah pelan. “….bagaimana…cara termudah?”

“Bolehkah saya berbicara?” Joyo Dento mengangkat kepalanya.

“Apa yang akan andika katakan, Dento? Bantulah saya berpikir!” tatap Kebo Benowo.

“Menurut hemat saya, negara Demak Bintoro kini dalam keadaan tenang dan tentram. Namun bukan berarti ketenangan ini tidak bisa diusik.”

“Semua orang tahu! Apa maksud andika!” timpal Loro Gempol meninggi.

“Mohon maaf, Ki Gempol. Bukankah saya belum selesai bicara?”

“Lanjutkan, Dento!” ujar Kebo Benowo mengacungkan telapak tangannya, seraya menatap Loro Ge,pol agar memberi kesempatan bicara pada Joyo Dento.

“Negeri Demak Bintoro kini dalam keadaan tenang dan tentram. Sangat sulit bagi kita untuk melakukan pemberontakan apalagi penggulingan kekuasaan. Namun bukan berarti suasana tenang dan tentram ini tidak bisa diubah, menjadi kacau balau dan carut marut.” Joyo Dento berhenti sejenak, matanya merayap mengelilingi ruang pertemuan. Kembali tatapannya tertuju pada Kebo Benowo.

“Maksud andika?” Loro Gempol tidak sabar.

“Maksud saya, untuk merubah suasana tenang dan tentram ini harus menciptakan keadaan sebaliknya.”

“Mengacau ketenangan masyarakat?” tatap Kebo Benowo. “Jika itu dilakukan berarti tindakan kita untuk menggulingkan Raden Patah tidak akan berhasil, bahkan akan mendapat kecaman dari rakyat. Karena mereka tahu bahwa kita pengacau. Sedangkan yang kita harapkan dukungan rakyat, yang membetulkan tindakan kudeta. Jadi pada intinya tindakan kita harus mendapat simpati dari rakyat.”

“Benar, maksud saya itu.” ujar joyo Dento.

“Maksud andika jelas salah, Dento! Tidakah andika membayangkan jika kita merampok rakyat, mengganggu rakyat, sebaliknya mereka akan lebih simpati pada Sultan.” sela Loro Gempol.

“Tentu, jika kita salah dalam melakukan tindakan.” terang Joyo Dento. “Saya meskipun sehari-hari berada di pasar dan melakukan perbuatan sabung ayam, hanya untuk melampiaskan hobi saja. Andika belum paham jika saya dulu pernah mengabdi di Kadipaten Majapahit. Bahkan saya pun banyak belajar tentang politik dan ketatanegaraan. Namun orang-orang Majapahit kini tidak mau lagi memperlihatkan diri dan merasa antipati terhadap Raja Demak Bintoro, karena membaca kekuatan sendiri. Jika melakukan hal tadi berarti akan ditangkap, termasuk Ki Ageng Pengging, beliau lebih memilih hidup menjadi seorang petani, dengan nama lain.”

Mendengar uraian Joyo Dento yang membuka jatidirinya dan mengurai keahliannya, Kebo Benowo, Loro Gempol, Lego Benongo, juga seluruh peserta sidang pada kesempatan itu terkagum-kagum.

“Pantas saja, andika berbeda.” Kebo Benowo menggelengkan kepala. “Jika demikian lanjutkanlah rencana dan dasar pemikiran andika. Andika mulai hari ini saya angkat sebagi penasehat saya dan yang lainnya.”

Bersambung……….

Read Full Post »

 Oleh Herdi Pamungkas

“…sangat sulit, Syekh.” Kebo Kenongo menarik napas dalam-dalam. “…pantas saja diri Syekh bisa terangkat pada derajat ma’rifat, karena telah sanggup membersihkan batin dari noda-noda tadi. Mungkin saya sulit mencapai ma’rifat tadi karena batin ini masih dijejali dan dikotori hal-hal yang membutakan, menghalangi, mengganggu dan merintangi. Pada intinya masih berbau keangkuhan, kesombongan, angkara, rasa iri dan dengki. Namun rasanya sulit untuk melepaskan hal-hal tadi, Syekh. Mungkin karena kesulitan itu datang akibat kita berada dalam hiruk pikuk kemewahan duniawi, yang selalu hadir di sisi kiri, kanan, depan, dan belakang kita?”

“…jangan salah, Ki Ageng. Bukankah setiap manusia hidup memerlukan kebutuhan jasadiyah?” timpal Syekh Siti Jenar. “Duniawi adalah kebutuhan lahiryah, sedangkan menuju ma’rifat adalah proses perjalanan batin menuju akrab.”

“Benar, Syehk. Namun jika gangguan duniawi sangat terlalu kuat, bisa menggelapkan mata batin. Sehingga kita selalu memperjuangkan kepentingan jasadiyah tanpa kendali dan melupakan kebutuhan batinnya. Nah, untuk menyeimbangkan itulah yang sangat sulit.”

“Sebetulnya kita tidak perlu seimbang dulu. Namun itu terlalu berat untuk kebanyakan orang dan tidak mungkin dapat tercapai. Sebab bagi yang telah ma’rifat dan akrab tidak perlu jauh melangkah tinggal mengatakannya, apa yang diinginkan akan datang atau berada dalam genggaman.” terang Syekh Siti Jenar, lantas membuka telapak tangannya dan diacungkan ke langit, lalu dikepalkan. “…lihatlah! Inikah yang Ki Ageng inginkan?”

“Benar, Syekh. Andika selain bisa membaca keinginan batin saya juga dapat membuktikannya hanya dengan mengepalkan tangan.” Kebo Kenongo menggeleng-gelengkan kepala, seraya memujinya.

***

“Sudahkah andika menemukan cara yang tepat untuk menguasai Demak?” Loro Gempol menatap wajah Kebo Benowo.

Bersambung………..

Read Full Post »

 Oleh Herdi Pamungkas

“Prajurit Allah yang empat itu diantaranya…” Syekh Siti Jenar melangkahkan kakinya perlahan. “…pertama adalah angin. Lihatlah angin yang lembut dan sepoi-sepoi, namun perhatikan pula jika angin itu mulai dahsyat serta bisa memporak-porandakan bangunan sehebat apa pun, menghancurkan pohon-pohon yang tertancap kokoh, menerbangkan segala hal yang mesti diterbangkannya, bahkan menghancurkan sebuah kota atau perkampungan. Lantas ketika angin mengamuk siapa yang bisa membendung dan menghalang-halangi?”

“Tidak ada, Syekh.”

“Itulah kehebatan prajurit Allah yang disebut manusia angin pada syariatnya. Padahal angin itu hakikatnnya membawa pesan pada manusia, pada para khalifah bumi, agar menyadari kekeliruan yang pernah diperbuatnnya. Manusia yang melakukan keruksakan di muka bumi maka akan kembali pada perbuatannya, akibatnya. Namun dalam hal ini manusia hanya memandang sebelah mata pada hakikat angin. Mereka lebih banyak bercerita dan memandang akan hal yang berbau logika dan penalaran semata, karena itu semua akibat dari keterbatasan ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang manusia miliki tidak mencakup berbagai hal, namun terbatas hanya pada bidangnya saja. Sehingga manusia terkadang melupakan Allah yang memiliki lautan ilmu.” urai Syekh Siti Jenar, seraya langkahnya terhenti. Sejenak berdiri di tepi jalan, matanya menyapu tingginya puncak gunung yang diselimuti awan putih yang berlapis-lapis.

“Bukankah manusia akan selalu merasa pintar jika seandainya berhasil menangani sedikit persoalan saja, Syekh?”

“Itulah manusia. Namun tidak semuanya seperti itu. Tetapi itulah watak orang kebanyakan. Maka jika demikian tertutuplah pintu ilmu berikutnya, terhalang oleh keangkuhan dan kecongkakan yang terselip dalam batinnya.” ujar Syekh Siti Jenar. “Berbeda jika dibandingkan dengan manusia yang batinnya terang. Dia tidak akan pernah berbuat congkak, apalagi sombong, yang bisa membutakan mata hatinya. Sehingga orang seperti itu akan selamanya sanggup memahami segala hal dengan jernih….”

Bersambung……………………….

Read Full Post »

Oleh Herdi Pamungkas

“Ya, itu sedikit ilmu yang saya pelajari dari keMaha Besaran  Allah. Mungkin yang mengawal saya kemana pun pergi adalah ilmu  yang saya miliki. Sehingga dengan ilmu itu saya pun bisa  memanggil prajurit Allah yang empat.” tambah Syekh Siti Jenar.

“Prajurit Allah?” kerut Kebo Kenongo. “Apakah para Malaikat?  Kalau di dalam agama saya para Dewa dan Hyang Jagatnata, penguasa  triloka.”

 “Prajurit Allah bukan Malaikat. Saya tidak akan berbicara tentang  para Dewa.” berhenti sejenak, lalu tatapan matanya menyapu wajah  Kebo Kenongo.

“Namun yang akan saya bicarakan prajurit Allah. Ingat bukan Malaikat,”

“Kenapa bukan Malaikat? Bukankah Malaikat bisa mencabut nyawa  manusia dan bangsa jin yang goib?” tanya Kebo Kenongo.

“Meskipun demikian Malaikat hanyalah makhluk Allah, tidak beda  dengan kita. Hanya yang membedakan kita dengan Malaikat, dia  adalah goib. Malaikat memiliki keimanan tetap dan tidak pernah  berubah, berbeda dengan bangsa manusia dan jin. Namun meski  bagaimana pun tetap saja manusia makhluk yang paling mulia,  tetapi sebaliknya derajat kemulian yang diberikan Allah kepada  manusia akan lenyap. Bahkan manusia akan didapati sebagai makhluk  yang lebih rendah dan hina dibawah binatang.” urai Syekh Siti  Jenar.

“Lalu prajurit yang dimaksud?”

 “Yang dimaksud prajurit tentu saja penyerang, penghancur,  perusak, dengan segala tugas yang diembannya.”

“Mungkinkah mirip dengan Dewa Syiwa?”

“Mungkin, Ki Ageng.” Syekh Siti Jenar berhenti sejenak.  “Sedangkan prajurit Allah yang empat disini pun fungsi dan  tugasnya untuk menghancurkan, merusak, dengan tujuan manusia  berbalik pada jalan lurus. Mengingatkan kekeliruan yang pernah  diperbuat oleh para khalifah bumi. Tujuannya tentu saja  menyadarkan, jika yang menedapatkan taufiq dan hidayah. Adzab dan  siksa bagi mereka yang tidak pernah mau bertobat dan kembali  kepada jalan yang lurus.”

“Lalu siapa yang dimaksud dengan prajurit Allah yang empat tadi,  Syekh?”

 

Bersambung…….

Read Full Post »

“Benar, Syekh. Hanya kejernihan berpikir dan menerima yang bisa membukakan kebodohan dan kekurangan diri kita…” timpal Kebo Kenongo. “Namun dalam uraian tadi apa yang membedakan kehebatan ilmu yang dimiliki oleh Jin Iprit dan Ulama?”

“Tentu saja sangat berbeda.” Syekh Siti Jenar bangkit dari duduknya, seraya menatap langit. “Jin itu makhluk gaib, tidak aneh bagi bangsa mereka terbang, melayang-layang di angkasa, melesat secepat angin, menembus lubang sekecil lubang jarum, bahkan merubah wujud berbentuk apa pun yang dikehendakinya.”

“Bisa pula tidak terlihat oleh manusia?”

“Sangat bisa. Ya, karena memiliki sifat ghaib itulah. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menembus alam jin. Sebaliknya hanya jin tertentulah yang bisa menampakan diri pada manusia.” terang Syekh Siti Jenar. “Sehebat apa pun bangsa jin tentunya tidak bisa melebihi manusia.”

“Bukankah pada zaman ini banyak pula orang-orang yang memiliki ilmu jin bahkan mengabdikan diri, karena ingin mendapat kesaktiannya.” timpal Kebo Kenongo. “Para dukun sakti saya rasa tidak terlepas dari kekuatan dan kesaktian atas bantuan bangsa jin yang dijadikan tuannya.”

“Itulah kedangkalan berpikir manusia, Ki Ageng. Mereka tidak melihat asal usul, jika manusia itu makhluk yang paling mulia di banding yang lainnya. Termasuk jin.”

“Jika demikian, Syekh. Berarti kita harus menaklukan jin agar bisa memerintah mereka dan memanpaatkan kekuatannya. Namun apa mungkin kita bisa menaklukan jin?”

“Kenapa tidak mungkin. Bukankah Kanjeng Nabi Sulaiman sendiri prajuritnya terdiri dari bangsa jin, selain binatang dan manusia?”

“Tapi untuk menaklukan bangsa jin tentu saja ilmu kita harus di atas mereka, Syekh?”

“Tentu saja, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar. “Namun jika kita sudah memiliki ilmu dan kesaktian sebetulnya menjadi tidak perlu memiliki dan menaklukan jin. Karena kita bukan raja seperti Kanjeng Nabi Sulaiman, yang memerlukan prajurit dan abdi setia. Untuk dijadikan balatentara dan membangun negara, dengan arsitek-arsitek yang kokoh. Jin dijaman nabi sulaiman di suruh menyelami laut untuk mengambil mutiara, di suruh membangun keraton berlantaikan kaca yang membatasi kolam dibawahnya.”

“Meski bukan raja kita juga butuh prajurit pengawal, Syekh?”

“Saya rasa tidak perlu bangsa jin yang dijadikan prajurit pengawal. Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad juga tidak dikawal oleh bangsa jin, namun selalu disertai oleh Malaikat Jibril kemana pun beliau pergi.”

“Lalu haruskah Kanjeng Nabi menundukan Malaikat agar mengawalnya? Sakti mana dengan jinnya Kanjeng Nabi Sulaiman?”

“Tentu saja Malaikat itu lebih sakti dari bangsa jin. Karena yang mencabut nyawa jin juga Malaikat seperti halnya nyawa manusia. Kanjeng Nabi Muhammad pun tidak perlu menundukan Malaikat, karena dengan sendirinya Malaikat akan di utus oleh Allah untuk menyertai orang-orang shalih. Apalagi Malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu Allah yang disampaikan kepada Kanjeng Nabi Muhammad.” urai Syekh Siti Jenar.

“Syekh sendiri siapa yang mengawal?”

“Karena saya manusia biasa, bukan nabi dan juga keshalihannya tidak saya ketahui, entahlah. Mungkinkah Allah mengutus Malaikat untuk mengawal atau tidak saya tidak tahu. Yang jelas saya tidak dikawal oleh bangsa jin…” Syekh Siti Jenar kembali duduk bersila.

“Tapi kenapa Syekh memiliki kesaktian?”

Bersambung………….

Read Full Post »

“Benar, Ki Ageng Pengging.” Syekh Siti Jenar mengangguk. “Namun bukankah kita tidak sedang berbicara tentang perjalanan jasad?”

“Maksud, Syekh?”

“Ingatkah Ki Ageng Pengging ketika saya pernah bercerita tentang Kanjeng Nabi Sulaiman AS.?” ujar Syekh Siti Jenar.

“Yang pernah Syekh baca dari ayat suci alquran itu? Saya agak lupa.” Kebo Kenongo menempelkan telunjuk didahinya.

“Ketika Kanjeng Nabi Sulaiman meminta kepada para pengagung negaranya untuk memindahkan kursi Ratu Balqis ke istananya. Siapakah yang bisa memindahkan singgasana Ratu Balqis dalam waktu yang sangat cepat, hingga jin Iprit menyanggupi.”

“Ya, saya ingat, Syekh.” Kebo Kenongo tersenyum. “Namun bukankah Jin Iprit itu terlalu lama menurut Kanjeng Nabi Sulaiman, karena dia meminta waktu saat Baginda Nabi bangkit dari tempat duduk maka singgasana akan pindah…”

“Benar, waktu seperti itu lama menurut Kanjeng Nabi Sulaiman. Karena bangkit dari duduk memerlukan waktu beberapa saat. Hingga berkatalah seorang ulama serta mengungkapkan kesanggupannya, yaitu hanya sekejap. Kanjeng Nabi Sulaiman berkedip maka Singgasana Ratu Balqis pun akan berhasil dia bawa. Hanya satu kedipan.” terang Syekh Siti Jenar. “…dan terbuktilah kehebatan ulama tadi.”

“Ya, benar, Syekh.” ujar Kebo Kenongo, “Itulah ilmu Allah. Mana mungkin bisa dicerna dan dipahami dengan keterbatasan berpikir manusia.”

“Tidak semua manusia seperti itu, Ki Ageng.” terang Syekh Siti Jenar. “Itulah manusia kebanyakan, terkadang perkataannya dan pendalamannya dibidang ilmu dangkal. Namun meski pun memiliki kedangkalan berpikir terkadang dalam dirinya mencuat pula rasa angkuh dan sombongnya. Jika hal itu terjadi maka akan gelap untuk meraba dan meraih yang saya maksud.”

Bersambung………..

Read Full Post »

 Oleh Herdi Pamungkas

“Maksud Syekh?” kerut Kebo Kenongo. “Samakah dengan yang saya dengar tentang Isra Mi’rajnya Nabi Muhammad?”

“Ya, namun berbeda.”

“Maksudnya?”

“Jika Rasulallah Isra Mi’raj dengan kehendak dan kekuasaan Allah. Sedangkan saya tidak.” ujar Syekh Siti Jenar.

“Saya kurang paham, Syekh?” Kebo Kenongo memijit keningnya.

“Ya, saya tidak bisa seperti Rasulallah. Sebab saya bukan beliau…” terang Syekh Siti Jenar. “Namun saya bisa menyatu dengan kekuatannya dan dzatnya. Hingga ketika saya menghendaki berada di pusat Negeri Demak dengan sekejap itu bukan persoalan yang mustahil.” tambahnya.

“Benarkah itu, Syekh?” Kebo Kenongo semakin mengkerutkan dahinya.

“Jika Ki Ageng Pengging ingin bukti, maka tataplah saya! Jangan pula Ki Ageng berkedip! Karena kepergian saya ke pusat kota Demak Bintoro bagaikan kedip, kembali pun dihadapan Ki Ageng seperti itu pula. Saya dari pusat Kota Demak Bintoro akan membawa makanan segar.” usai berkata-kata, samarlah wujud Syekh Siti Jenar, hingga akhirnya lenyap dari pandangan Kebo Kenongo.

“Lha,” Kebo Kenongo menggosok-gosok kedua matanya. “Benarkah yang sedang terjadi dan kuperhatikan ini?”

“Inilah makan segar dari pusat kota Demak Bintoro, Ki Ageng.”

“Lha, aih..aih..!” Kebo Kenongo terperanjat, ketika dihadapannya Syekh Siti Jenar sudah berdiri kembali seraya menyodorkan makanan hangat dengan bungkus daun pisang.

“Itulah yang bisa saya lakukan, Ki Ageng.” ujar Syekh Siti Jenar, seraya duduk bersila di atas hamparan tikar pandan, dihadapannya terhidang dua bungkus makanan hangat yang beralaskan daun pisang. “Sekarang marilah kita makan alakadarnya.”

“Ya,” Kebo Kenongo hanya menjawab dengan anggukan. “Saya tidak sanggup untuk memikirkannya, Syekh? Kenapa andika hanya dalam kedip pergi ke pusat kota Demak Bintroro untuk mendapatkan hidangan makan pagi. Padahal jika kita bejalan dari padepokan ini ke pusat kota Demak memakan waktu satu hari satu malam?”

Bersambung…………

Read Full Post »

« Newer Posts - Older Posts »