Oleh Herdi Pamungkas
Angin kematian berhembus semakin kencang. Jerit kematian semakin menjalar, mayat-mayat bergelimpangan, tubuh-tubuh berjatuhan, darah menggenangi Kuru Setra.
“Ayo lawan aku…” teriak Resi Dorna di atas kereta, seraya melepas sepucuk anak panah dari busurnya. Ketika melesat menjadi ribuan laksana hujan yang turun dari langit, menghantam para prajurit Pandawa.
Pihak Kurawa tampak gembira, Dursasana menari-nari sembari memainkan pedangnya memenggal kepala para prajurit yang tidak sebanding kemampuan berperangnya. Mereka berjatuhan, bagaikan pohon pisang ditebas petani.
Mahasenapati Resi Drona semakin ganas, menghajar musuh-musuhnya, tiada yang sanggup membendung serangan anak panahnya. Ia Guru Pandawa dan Kurawa yang memiliki ilmu sriwenda danurwenda dalam tahapan yang sangat sempurna, sehingga sulit untuk mencari tandinganya.
“Tangkis serangan Resi Dorna, Rayi!” teriak Srinalendra Khresna selaku sais kereta perang Arjuna.
“Baiklah, Kakang!” Arjuna, dengan raut muka sedih melepas anak panah yang berubah menjadi ribuan menagkis serangan gurunya.
“Kenapa rayi terlihat sedih?” sudut mata Khresna memicing, “Bukankah hujan panah Eyang Drona bisa terpatahkan?”
“Meski demikian, Kakang. Kita tidak mungkin bisa mengalahkan Eyang Dorna?” Arjuna mukanya keruh.
“Ya, tentu saja.” Khresna tersenyum, “Setidaknya hari ini rayi bisa membendung serangan Eyang Dorna. Nanti malam usai pertempu ran kita atur siasat.
***
Pajar mulai menyingsing, seiiring dengan teriakan para prajurit Hastina dan Indraprahasta, merangsek maju ke tengah-tengah medan tempur Kuru Setra. Kepulan asap berterbangan ke angkasa dari tanah yang terusik telapak kaki kuda, serta kereta perang berbaur satu dengan semburan darah para pahlawan.
Mahasenapati Resi Dorna melepas panah-panahnya, hingga pertempuran pun tidak seimbang. Meski berkali-kali Arjuna menangkis serangannya, namun harus ditebus dengan kematian para prajurit.
Resi Dorna meletakan busur dan anak panahnya di atas kereta perang, seraya mencabut pedang. Bilah pedang di tangan Resi Dorna berkelebatan menjemput kematian, berbarengan dengan langkahnya merangsek di antara kerumunan prajurit pandawa. Kematian malah terbirit-birit seakan-akan ketakutan melihat sosok sang resi. Menyelinap di antara riuh rendah, serta sorak sorai para kurawa kabar kematian Aswatama putra kesayangan Resi Dorna. Kabar kematin terseok-seok kesana kemari mengabari sang Resi nun jauh anaknya bertempur di sudut lain.
“Ajauoooo….” Resi Dorna mencari-cari Yudistira, raja Indrapra hasta lambang kejujuran sejati.
Yudistira tampak di atas kereta perang disertai Khresna selaku saisnya berputar-putar mendekati Resi Dorna yang tampak lunglai, tiada lagi semangat berperang.
“Ajauooo…Yudistira!” Resi Dorna mendekati kereta Yudistira,
“Nanda Prabu, benarkah Aswatama anaku telah gugur?”
“Be…benar…Eyang…” terdengar keras, ‘…namun itu gajah Asuratama’ lanjutnya dalam hatinya.
“O….” Resi Dorna membalikan tubuhnya, seraya melepar pedang. Tubuhnya semakin lunglai.
“Bukankah Eyang yang mengajarkan…kematian bagi seorang ksatria laksana harum bunga dan kemuliayaan….” ujar Yudistira.
“Yang aku sesalkan bukanlah kematian Aswatama….namun lenyapnya kejujuran di muka bumi…” lalu duduk bersila di atas tanah kuru setra, seiring dengan datangnya senja, menjemput kepergian Resi Dorna untuk selama-lamanya.
Langit pun ikut menangis, hujan gerimis mengiringi langkahnya menuju ke alam keabadian.
“Keparat! Mampus kau Dorna!” Drestajumena dengan sorot mata beringas loncat dari atas kuda membabat leher Resi Dorna yang sudah meninggal dengan sabetan pedang.
*** ***