Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘cerpen’ Category

Tiada lagi Kejujuran……..

Oleh Herdi Pamungkas

Angin kematian berhembus semakin kencang. Jerit kematian semakin menjalar, mayat-mayat bergelimpangan, tubuh-tubuh berjatuhan, darah menggenangi Kuru Setra.

“Ayo lawan aku…” teriak Resi Dorna di atas kereta, seraya melepas sepucuk anak panah dari busurnya. Ketika melesat menjadi  ribuan laksana hujan yang turun dari langit, menghantam para  prajurit Pandawa.

Pihak Kurawa tampak gembira, Dursasana menari-nari sembari memainkan pedangnya memenggal kepala para prajurit yang tidak sebanding kemampuan berperangnya. Mereka berjatuhan, bagaikan pohon pisang ditebas petani.

Mahasenapati Resi Drona semakin ganas, menghajar musuh-musuhnya, tiada yang sanggup membendung serangan anak panahnya. Ia Guru  Pandawa dan Kurawa yang memiliki ilmu sriwenda danurwenda dalam  tahapan yang sangat sempurna, sehingga sulit untuk mencari tandinganya.

“Tangkis serangan Resi Dorna, Rayi!” teriak Srinalendra Khresna  selaku sais kereta perang Arjuna.

“Baiklah,  Kakang!” Arjuna, dengan raut muka sedih  melepas  anak panah yang berubah menjadi ribuan menagkis serangan gurunya.

“Kenapa  rayi  terlihat  sedih?”  sudut  mata  Khresna  memicing,  “Bukankah hujan panah Eyang Drona bisa terpatahkan?”

“Meski  demikian,  Kakang. Kita tidak  mungkin  bisa  mengalahkan  Eyang Dorna?” Arjuna mukanya keruh.

“Ya,  tentu saja.” Khresna tersenyum, “Setidaknya hari  ini  rayi  bisa membendung serangan Eyang Dorna. Nanti malam usai  pertempu ran kita atur siasat.

***

Pajar  mulai menyingsing, seiiring dengan teriakan para  prajurit  Hastina dan Indraprahasta, merangsek maju ke tengah-tengah  medan  tempur  Kuru  Setra. Kepulan asap berterbangan  ke  angkasa  dari  tanah yang terusik telapak kaki kuda, serta kereta perang berbaur satu dengan semburan darah para pahlawan.

Mahasenapati Resi Dorna melepas panah-panahnya, hingga  pertempuran  pun  tidak  seimbang. Meski  berkali-kali  Arjuna  menangkis serangannya, namun harus ditebus dengan kematian para prajurit.

Resi  Dorna  meletakan  busur dan anak panahnya  di  atas  kereta perang, seraya mencabut pedang. Bilah pedang di tangan Resi Dorna berkelebatan  menjemput kematian, berbarengan  dengan  langkahnya merangsek  di antara kerumunan prajurit pandawa.  Kematian  malah  terbirit-birit seakan-akan ketakutan melihat sosok sang resi. Menyelinap  di antara riuh rendah, serta sorak sorai para  kurawa  kabar kematian Aswatama putra kesayangan Resi Dorna. Kabar  kematin  terseok-seok  kesana  kemari mengabari sang  Resi  nun  jauh  anaknya bertempur di sudut lain.

“Ajauoooo….” Resi Dorna mencari-cari Yudistira, raja  Indrapra hasta lambang kejujuran sejati.

Yudistira  tampak di atas kereta perang disertai  Khresna  selaku saisnya berputar-putar mendekati Resi Dorna yang tampak  lunglai,  tiada lagi semangat berperang.

“Ajauooo…Yudistira!”  Resi  Dorna mendekati  kereta  Yudistira, 

 “Nanda Prabu, benarkah Aswatama anaku telah gugur?”

“Be…benar…Eyang…”  terdengar  keras,  ‘…namun  itu  gajah  Asuratama’ lanjutnya dalam hatinya.

“O….”  Resi Dorna membalikan tubuhnya, seraya  melepar  pedang. Tubuhnya semakin lunglai.

“Bukankah Eyang yang mengajarkan…kematian bagi seorang  ksatria laksana harum bunga dan kemuliayaan….” ujar Yudistira.

“Yang aku sesalkan bukanlah kematian Aswatama….namun  lenyapnya kejujuran di muka bumi…” lalu duduk bersila di atas tanah  kuru  setra,  seiring dengan datangnya senja, menjemput kepergian  Resi  Dorna  untuk  selama-lamanya.  

Langit pun  ikut  menangis,  hujan  gerimis mengiringi langkahnya menuju ke alam keabadian.

“Keparat!  Mampus  kau  Dorna!” Drestajumena  dengan  sorot  mata beringas  loncat  dari atas kuda membabat leher Resi  Dorna  yang sudah meninggal dengan sabetan pedang.

*** ***

Read Full Post »

TATAPAN KOSONG

Oleh Herdi Pamungkas

Perempuan berkulit putih, leher jenjang, kaki belalang, mendesah lambat. Buliran keringat bercampur embun mulai membasahi sekujur tubuhnya, seiring dengan jeritan lirih yang meluncur dari mulutnya.
***
Kerutan kulit dibawah matanya, tampak jelas terseret usia yang semakin lanjut. Masa paruhbaya telah terlewati dengan deru marah, serta dendam yang selalu menyelinap diantara sela-sela tulang iganya. Berkali-kali mencaci langit, memarahi setiap sudut ruang yang sempit. Helaan napas tertahan berat.
Tiada lagi kuncup-kuncup bunga mekar dengan warna indah nan memukau. Tiada lagi harumnya yang tercium hingga tak berbatas. Memiliki daya pikat, tiada batas, hingga mampu menyedot puluhan kumbang untuk mendekat. Sekedar menatap keindahan, kemolekan,  menyentuh, hingga tak berjarak meski sejengkal.
Kumbang-kumbang merapat, menyentuh, hingga melukar setiap helai kelopak bunga. Merepih, menelusur hingga ke dalam. Merambah tiap lekuk tubuhnya, memainkan aroma harumnya. Tak ayal, menikmati sari madunya. Kumbang jalang berkulit coklat keemasan.
“Inilah kelopak terindah yang pernah ku sentuh,” elus sang kumbang. “Terbanglah bersamaku ke ujung langit…dari kepala putik hingga mahkota…” menggombal.
“Inikah keindahan yang kau janjikan? Bawalah aku pergi hingga melayang terbawa angin…halnya serbuk sari yang berhamburan mencari tempat jatuh untuk kembali tumbuh…”
“Tentu saja…”
Kelopak bunga mulai redup, terenggut sari madunya. Tiada harga berbuat lebih ketika tabu sudah dilanggar. Semakin merangsek kumbang lainnya untuk mendekat, hanya sekedar menyentuh, singgah, serta mencicipi sari madunya.
Kumbang jalang berkulit coklat keemasan telah terbang entah kemana. Menyisakan bayang yang tak pernah lekang. Tinggalkan kelopak bunga yang membuncah resah.Kini telah mengering laksana ranting ditinggal rimbunnya dedaunan. Kerut kemarahan menandai goresan kening, meski menyisakan roman cantik yang tinggal kenangan di masa lalu.Kedua kaki menopang tubuh kurus mengkerucut, tangannya bergetar menggenggam kecewa.
“Jika ada didepan mata akan kuhabisi dia!” gerutunya. Tatapan matanya yang kosong melumat dinding tebal tembok berjeruji.
“Sayang, kamu tidak segar lagi seperti dulu!” perlahan yang disebutnya kumbang terkekeh mengejek.
“Keparat!” mengayunkan tamparan ke mukanya.
“Tidak,” tangan kekarnya mengunci pergelangan tangan lemah, hingga tak beranjak. “Kehadiranku bukan untuk ditampar. Aku hanya ingin merajut kasih yang telah rapuh, merenda cinta yang telah patah.”jemarinya mulai mengusik, melucuti kelopak layu tak bergairah. Menggombal, yang menghanyutkan.
“Benarkah?” tangannya mulai menyambut, kepak sayap kumbang jalang  berkulit coklat keemasan. “…itulah yang kunanti darimu. Mengapa bertahun lamanya kamu menghilang, membiarkan berahiku terpenjara dalam sunyi senyap di balik tembok sempit berjeruji. Aku habisi tua bangka yang mencoba menggagahiku hingga tersungkur berlumuran darah di atas dipan. Tiap dia datang menyentuhku hanya melumuri kelopak dengan embun, tak satu pun serbuk sari yang menempel, apa lagi lembaran pengharapan. Sekedar untuk membeli gincu, demi mempercantik diri.”
“Bukankah itu pula yang menyeretmu ke dalam jeruji ini?” sentuhannya mengusik kelopak kembali mekar, “…hingga menjauhkan jarak antara kita…”
“Bukankah kini kamu telah datang sekedar mengobati rasa rindu? Membongkar tembok yang memenjarakan pergumulan diantara kita, hingga tiada jarak?”
“Tidak,”
“Mengapa?”
“Tatapanmu kosong belaka…”
“Keparat! Kemana kamu!” dinding tebal kembali nampak, tidak ada sosok kumbang jalang berkulit coklat keemasan dihadapannya.Kembali mematung, tidak bergeming. Jemari tangannya yang dulu lentik nan menawan, kini hanya tulang terbungkus kulit. Tidak lagi memiliki daya tarik bagi kumbang jalang berkulit coklat keemasan.
Tatapan kosongnya menyapa masa lalu bertabur keindahan, ketika bunga lagi mekar, ketika harum memiliki daya rangsang. Mampuh melumat, seraya melumpuhkan kegarangan kumbang jalang berkulit coklat keemasan.
Bayang kembali menyapa dari tatapan mata kosong, tangannya meraih potongan besi yang disimpannya sejak lama. Mengayunkannya ke muka si kumbang jalang, hingga terdengar satu tembakan. Menembus kepala.
“Mati!”
“Mengapa kamu menembaknya? Bukankah dia akan dikirim ke rumah sakit jiwa?” lirik teman penjaga berganti tatap.***

Read Full Post »

Irisan Dua Alam

Oleh Herdi Pamungkas

Dendam semakin berkarat dalam hati Jack. Selalu mencari waktu dan saat yang tepat untuk membalasnya. Jack berkali-kali masuk penjara, bisa bebas berkat bantuan tuannya.
“Ini kali terakhir aku dalam penjara,” desisnya. “Tidak akan lama lagi aku dibebaskan.” Jack, memegang jarum suntik. Pelan ditusukan kebagian tangannya. Serasa tubuhnya melayang bagaikan diawang-awang. Menelesuri awan jingga berlapis-lapis laksana singgasana para bidadari, serta para bidadari menyapanya dan tersenyum.

***

Sepucuk surat diterima Jack dari balik jeruji. Mengabarkan Tuanya tertembak di Afganistan. Wajah Jack langsung murung, dahinya mengerut.
“Keparat! Lalu bagaimana aku balas dendam? Bagaimana aku keluar dari jeruji ini?” Jack memijit-mijit dahinya, mulai terasa pening.
“Jack, apa kabar?” Sipir Don mendekat, setelah membuka pintu jeruji, tangannya yang kekar merenggut leher baju Jack. “Kini tidak ada lagi yang akan membantumu keluar dari jeruji, sepantasnya kamu mendekam dan mampus disini!”
“Brengsek!” Jack mengelakan tangan lawan.
“Diam, Kau!” Sipir Don mendorong tubuh Jack hingga terbanting ke dinding tembok penjara.
“Bedebah kamu, Don! Kuhabisi kau disini!” Jack segera berdiri tegap dan siap menyerang.
Drek, kepalan tangan Jack mengantam pintu penjara yang dibanting Sipir  Don. Lalu di kunci dari luar.
“Mengeranglah kau disitu, tinggal menunggu vonis hukuman mati.” Sipir Don pun tertawa sambil pergi.
“Jahanam!” Jack geram, kepalan tangan kanannya terasa sakit gara-gara menghantam pintu jeruji penjara.
Jack duduk disudut ruang tahanan, seraya memutar pikiran harus keluar dari penjara dan balas dendam.
Pikirannya mulai menerawang pada kejadian yang membuat hatinya tertekan dan menyimpan dendam membara. Gray Pedro, yang semula dianggapnya dewa penolong namun pada akhirnya menghancurkan kehidupan keluarganya. Memperkosa Istrinya dan memberikannya pada srigala lapar sesama keparat, hingga akhirnya bunuh diri. Lalu menjual anak gadisnya, sampai kini tidak ditemukan lagi.
“Pedro, tunggu pembalasanku. Kamu pula yang selalu berhinat dan menggiringku ke dalam penjara.” geramnya.
Jack, memutar lagi otaknya. Keringat dingin mulai bercucuran dari dahinya yang dikerutkan, mencari cara untuk keluar dari dinding pengap berjeruji besi.
Tidak lama kemudian pintu jeruji berderit, buyarkan Jack dari berpikir keras. Lalu matanya menatap sosok yang datang.
“Beraninya kau menatapku seperti itu!” Lelaki bertubuh kekar mendekat dan mecekiknya.
“Kamu lagi!” Jack geram, setelah jelas pada sosok yang datang. “Apa maumu, Don?” tanya Jack, seraya melepas cekikan sipir Don.
“Aku hanya ingin menolongmu agar bisa keluar dari jeruji ini,” ujar sipir Don.
“Tumben kau ingin membantuku?” Jack menyeringai.
“Aku tidak sangka, meski tuanmu sudah tertembak mati. Ternyata kakitangannya masih mempedulikan kau untuk bebas.” Sipir Don mencengkram leher Jack dan mendekatkan mulut ke wajahnya.
“Bagus, berarti kau masih punya penghasilan tambahan. Cepat! Beri tahu aku jalan mana yang aman untuk melarikan diri!” Jack membuka cengkraman sipir Don dengan kedua tangannya.
“Tentu saja jalan yang biasa, bedebah!” sipir Don membanting Jack ke pintu jeruji.
“Brengsek!” Jack berusaha bangun lalu mendobrak pintu penjara yang tidak dikunci. Setelah itu melarikan diri usai mengunci pintu penjara dari luar.
“Tolong, tahanan kabur!” sipir Don berteriak setelah Jack menghilang dari pandangannya. Alarm pun berbunyi petugas berhamburan, sebagian mencari Jack dan sebagian lagi membebaskan sipir Don yang terkurung.

***

“Akhirnya aku bebas juga!” Jack telah merasa aman dan melangkah tenang menuju jalan tempat biasa tuannya menjemput.
Pandangan matanya tertuju ke sebrang jalan, mobil hartop yang biasanya menjemput telah menunggu. Lalu Jack berlari dengan gembira ke arah penjembut.
Diluar dugaan mobil itu bergerak untuk menabraknya, Jack terkejut. Segera membalikan tubuh dan menghindar. Mobil terus mengejar, dibarengi beberapa tembakan, seraya terdengar suara yang menertawakannya.
“Bodoh! Tuanmu telah ku bunuh. Sekarang giliranmu akan ku antar ke neraka.” tawa renyah pengendara hartop mengingatkan Jack pada suara musuh besarnya. Lalu membalikan tubuh.
“Gray Pedro?” Jack tertegun. Mobil pun melaju kencang lalu menghantam tubuh Jack hingga terpental beberapa meter dan berguling-guling di antara semak belukar di bibir tebing. Tubuhnya membentur batu padas yang berserakan di dasar tebing, sejenak Jack merasa gelap dan kehilangan kesadaran. Kepalanya pecah, darah bercampur isi kepala membasuh batu padas, tulang belulangnya remuk. Tubuhnya telentang kaku.
Jack terbangun, terasa lebih ringan. Lalu loncat dari kedalaman jurang, lebih gesit dan ringan seperti terbawa angin.
“Keparat, Gray Pedro!” Jack berdiri di tengah jalan menghadang mobil yang dikendarai musuh bebuyutannya.
“Tuan dan anjingnya sudah mampus. Bisnisku tidak ada lagi saingan,” Gray Pedro menginjak pedal gas dan menubruk Jack yang menghadang jalan.
“Kenapa dia tidak melihat aku? Bahkan menganggapku telah mati? Kenapa?” Jack menatap mobil yang di kendarai Gray Pedro yang melaju kencang. Tidak paham akan kejadian yang menimpa dirinya.***
Bandung, 24 Desember 2007

Read Full Post »

The Red Wolf

Oleh Herdi Pamungkas

ANGIN  berhembus, mengusik padang stepa  yang  lengang, Australia. Ilalang melepaskan serbuk bunga terbang rendah  menuju lembah  oasis.  Beberapa  pengembala  mulai  menggiring  dombanya menuju  kandang,  jarak yang tidak terlalu  jauh  hanya  beberapa depa.
Matahari  di ufuk sebelah barat berwarna merah, bagai darah  tercecer menodai awan putih yang berubah jingga. Pertanda siang akan sirna, terganti dengan gelapnya malam penuh cekam.
Para  pengembala mulai menutup kandang domba rapat-rapat,  mereka tidak asing pada sebuah pertanda, ketika purnama tiba petaka  pun akan datang menerpa.
Purnama, memancarkan sinar tanpa perantara atau penghalang. Hanya untaian  awan  putih  terkoyak bernoda  darah  melintas  sekejap, seiring kelelawar dan kampret mengepak mencari mangsa.
Angin semilir, membawa pesan mencekam, lolong srigala dari kejauhan. Burung hantu ikut menyahut, burung gagak tidak mau ketinggalan, insektisida terdiam sejenak. Taubah para pengembala  beringsut  menahan takut dibalik bilik rumahnya, seraya tersiap  dengan terpaksa menghadap petaka.
Dalam  sebuah bilik, pengembala bertubuh kekar bertampang  brewok mempersiapkan senapan. Menyambut petaka, mengusir rasa takut  dan cekam  dalam jiwa. Matanya mengintip dari lubang bilik yang  terbuat  dari kayu, menjelajah keadaan halaman rumah,  menanti  tamu pembawa petaka.
Elsa,  anak  gadisnya tak beranjak, masih  duduk  menghadap  meja dengan  setumpuk buku bacaan yang belum habis  dilahap.  Sesekali menatap  bapaknya  yang bersiap  menyambut  marabahaya,  gerangan pembawa bencana akan segera tiba.
Suara  berisik di luar rumah mulai menantang. Si Brewok  bangkit, tangan kanan memegang senapan. Tangan kiri mulai membukakan pintu depan seraya mengancam pembawa bencana. Gerombolan srigala berbulu  merah berputar-putar, dengan lidahnya terjulur  dan  ludahnya menetes.
Srigala  Merah,  yang paling besar beringas  menatap  si  Brewok. Srigala  lainnya melolong, menyalak,  menyeringai  memperlihatkan gigi dan taringnya yang runcing. Aklamsi kesanggupan untuk  merobek-robek  mangsa  hingga tak berdaya dengan gigi  laksana  ujung bayonet.
“Keparat!”  si Brewok merasa tertantang. Lalu  bersiap  menembak, seiring  dengan  loncatnya  srigala merah  yang  bertubuh  paling besar, pemimpinnya. Srigala lain berhamburan menyerang, si Brewok senapan.
Srigala  merah  bertubuh besar berhasil memasuki  rumah,  matanya menatap Elsa yang ketakutan. Srigala merah menyeringai, memperlihatkan  taringnya  yang runcing seakan-akan  mau  menerkam.  Lalu kedua kaki depannya merendah, siap loncat dan menerkam Elsa.
Elsa  roboh telentang, srigala langsung menerkam. Elsa  bergetar, berat tubuh srigala terasa menindihnya. Matanya perlahan  dibuka, sangat terkejut ketika dalam jarak hanya sejengkal wajah  srigala tepat beradu dengan wajahnya.

“Akhhhh…”  Elsa  menjerit. Akhirnya tidak tahu  apa  yang  akan dialaminya, seiring dengan perginya alam bawah sadar entah  kemana.
                             ***
Sembilan  purnama telah terlewati. Padang stepa  para  pengembala domba sudah melupakan petaka dan bencana yang datang tiap  purnama.  Srigala  merah  tidak pernah kunjung  tiba,  seiring  dengan mengembangnya tubuh Elsa, berbadan dua.
Lelaki  paruhbaya berwajah brewok, menjadi gunjingan sesama  pengembala  anaknya hamil tua tidak jelas suaminya. Tetangga  curiga Elsa  dilahap bapaknya. Meski dirinya tidak habis  pikir,  karena Elsa tidak pernah berpacaran dan keluar rumah. Dirinya pun  bukan bapak yang suka memangsa daging tubuhnya sendiri, tapi bapak yang manusiawi dan normal, serta beretika.
Namun petaka mesti menimpa dan mendera keluarganya, meski keadaan stepa  tidak lagi diterpa bencana, gara-gara gerombolan  srigala. Elsakah yang menjadi tumbal petaka?
Si  Brewok  hanya bisa mengelus dada  dan  bertanya-tanya,  namun tidak  ada  jawaban.

Hingga pada malam  purnama  kesepuluh,  Elsa melahirkan  seorang  bayi  laki-laki diiringi  suara  gemuruh  di langit, guntur bersahutan, lolongan srigala terdengar samar-samar dari kejauhan. Menyambut kedatangan bayi tanpa bapak? ***

Read Full Post »

Kalung Hati

Oleh Herdi Pamungkas

Perempuan itu tersenyum. Tatapan matanya yang tajam seakan-akan menembus ruang yang berada dalam batinku. Tangannya yang lembut menggapai bahuku, lalu memeluk tubuhku dengan erat.
Sirine kapal mulai terdengar, pertanda akan berangkat. Layar pun mulai terkembang. Aku perlahan melepaskan pelukannya, meski terasa berat itu harus dilakukan. Kekasihku akan berlayar, bersama penumpang lainnya menuju Australi.
“Selamat berlayar, Sayang.” desisku, mulutku ku dekatkan ditelinganya. Harum rambutnya tercium, menyegarkan. “Bawalah ini agar selalu ingat padaku,” lalu ku serahkan liontin bertuliskan namaku.
“Bulan depan jemput aku ya di dermaga ini?” Perempuanku tersenyum dan mengalungkan liontin yang ku berikan. Lalu perempuanku memberikan potongan liontinya padaku. Jika liontin itu disatukan akan terbentuk gambar hati.

***

Aku mematung di dermaga, mendengar riuh rendah gelombang berbaur dengan suara para penumpang kapal. Mataku menatap setiap perempuan muda yang turun dari kapal. Namun dia yang kutunggu dan ku cari-cari tidak pernah kunjung tiba.
“Bukankah ini hari yang dia janjikan? Untuk menjemputnya di dermaga.” hatiku berbicara. Aku sama sekali tidak salah menghitung dan memperhatikan tanggal, tentang kepulangannya dari Australi.
“Apakah yang telah terjadi?” aku hanya bisa mematung dan menggeleng-gelengkan kepala. Lalu aku menatap langit, tampak sudah mulai senja. Jangkar kapal mulai diangkat, peluit terdengar. Kapalpun berlayar, seiring dengan tenggelamnya matahari yang memerah.
“Haruskah aku terus berdiri disini?” pikirku. “Mungkin harus kutunggu hingga malam larut?” aku tidak jadi beranjak.
Hitam malam mulai tiba, namun tidak bisa melarutkan pikiranku akan kerinduan pada kekasihku. Yang tidak pernah kunjung tiba.

***

Aku tidak lagi muda, lebih tepat jika orang menyebutnya lelaki paruhbaya bertubuh tambun. Aku berusaha melupakan dermaga kapal tempatku menanti sang kekasih. Hingga tidak bisa menemukannya, entah dimana dia. Di Australi tidak pernah ku temukan alamatnya, seakan-akan hilang ditelan bumi.
“Bos, ini data-data para pelamar kerja.” ujar Personalia.
“Aku hanya butuh calon sekertaris,” ucapku tidak peduli.
“Tentu saja, Bos. Ini lengkap dengan foto-fotonya, mereka cantik-cantik.” Personalia membukakan map, terlihat wajah-wajah gadis belia dalam bingkai kertas foto.
“Ini, siapa?” aku mengambil sebuah foto. Seakan-akan foto itu mengingatkan aku pada seseorang yang tidak jelas keberadaannya kini, duapuluh tahun yang lalu.
“Susy namanya, Bos. Dia masih belia cantik dan gesit.” terang Personalia.
“Suruh masuk dia!” perintahku.
“Baik,” tidak lama kemudian Personalia, memanggil Susy.
Betapa terpesonanya aku ketika memandang wajah gadis belia. Dia mengingatkan aku pada perempuan yang sudah sekian lama aku nanti-nantikan di dermaga. Dia seakan-akan telah kembali ke hadapanku. Apakah gadis yang duduk dihadapanku ini adalah jelmaannya yang dikirim oleh Dewa Kamajaya untuk mengobati rindu yang sudah terlalu lama terpendam? Meski aku selama ini hanya singgah sesaat di setiap perempuan muda, sekedar interupsi.

***

Gadis belia itu telah menjadi obat rinduku, tidak sekedar interupsi. Aku mengangkatnya lebih dari sekertaris pribadi, kedudukannya tepat disisiku. Dia kujadikan pengobat rindu. Dia perempuan yang sangat polos, yang harus ku ajari dalam berbagai hal.
Namun kerinduan yang telah kembali harus pudar pada malam keseratus satu, ketika dia telentang di atas kasur kamar  hotel berbintang.
“Liontin itu?” aku tercengang, memandang liontin yang tersinari lampu yang baru saja kunyalakan.
“Bukankah lebih senang dalam keadaan redup, Mas.” Perempuan Belia tersungging. “Tidak biasanya menerangi ruangan?” tanyanya.
“Tidak, itu liontin milik siapa?” tanyaku bergetar.
“Ibuku, memang ada yang aneh dengan liontin ini?” tanyanya heran.
Aku baru memandangnya pada saat ini dengan jelas. Padahal jika diluar kamar liontin itu tertutup pakaian yang dikenakannya.
Lalu liontin itu ku satukan, tidak ada yang punya selain aku dengan kekasihku. Terbentuklah gambar hati. Menyatulah huruf ejaan namaku dengan dia.

***

Kenapa ini harus terjadi? Kenapa? Sebelum kepergian kekasihku ke Australi dia tengah hamil satu bulan, mengandung anakku. Meski kami tidak pernah menikah. Mengapa kekeliruan ini mesti terjadi. Aku tidak sanggup untuk menghadapinya, begitu juga dia. Sebaiknya kita sama-sama terbang dari ketinggian! Dari lantai hotel yang paling tinggi. Biar pikiran kita terberai, otak bercampur darah biar membasahi lantai dasar halaman hotel. Agar kita tidak berfikir tentang kesalahan dan dosa-dosa yang pernah kita perbuat. Itukah jalan kita?***

Bandung, 4 Oktober 2007 

Read Full Post »

Potret Sang Pejuang

Oleh Herdi Pamungkas

Lusuh, usang, dimakan usia. Tangan gemetaran meraih, perlahan.
“Kamu terlihat gagah,” ucap pak tua.
“Ya, aku seorang pejuang.” jawab potret.
“Kapan kamu berjuang?” pak tua menatap tajam potret pemuda berpeci, berpakaian militer.
“Tidakah kamu tahu? Aku pahlawan kemerdekaan!” tentara dalam potret menatap tajam.
“Pahlawan? Tidak mungkin?” pak tua mencibir.
“Kenapa tidak mungkin? Bukankah bangsa ini merdeka karena para pejuang seperti aku?” potret menggerakan bingkainya.
“Tapi sejarah tidak mencatatmu, wahai prajurit!” pak tua memalingkan muka.
“Tataplah aku, hai pak tua! Aku berjuang bukan untuk dicatat sebagai pahlawan. Aku berjuang demi nusa dan bangsa…” dari ujung matanya menitikan air mata.
“Bangsa yang mana?” tanya pak tua gelengkan kepala.
“Negeri ini, yang kamu pijak.”
“Pantas,” pak tua murung.
“Kenapa?” potret bertanya.
“Kamu dilupakan. Jangankan yang tidak tercatat sepertimu, yang tercatatpun hampir dianggap tiada.” pak tua mengerutkan dahinya.

***

“Penduduk kampung ini hampir semua veteran?” pak tua menatap potret, yang selalu diajak bicara dalam kesunyian.
“Benar. Ada apa?” tanya potret usang.
“Tanahnya harus segera dikosongkan! Ada proyek besar.” ucap pak tua.
“Tinggal dimana setelah ini?” tanya potret.
“Mana aku tahu? Mungkin aku harus pergi, kamu juga.” pak tua menitikan air mata. Air bening dari ujung mata bergulir diantara kulit pipi yang keriput dimakan usia.
“Tidak! Aku tidak akan pergi.” teriak potret.
“Tidak pergi berarti dipaksa harus! Bukankah kita sudah sama-sama jadi barang rongsokan dan usang? Sehingga tidak perlu dihargai?” pak tua mengelus dada.
“Lalu baju militer yang aku kenakan dan laras panjang ini?” tanya potret.
“Itu semua sudah tidak berarti. Simpan saja pada masa lalumu, saat ini tidak lagi berteriak merdeka atau mati! Itu hanya sebuah kenangan yang hampir terlupakan…” pak tua menundukan kepala.
“Jadi sia-siakah kita di masa lalu?” keluh potret.
“Tidak. Kita sudah berjuang sekuat tenaga. Sekarang simpanlah tenagamu…” pak tua hampir putus asa.

***

Pak tua tidak memiliki sanak saudara, selain potret masa lalunya yang menjadi teman dikala sepi. Sanak keluarganya bercerai berai entah kemana. Ketika dirinya berjuang sebagai pembela bangsa, untuk mengantar pada gerbang kemerdekaan.

Sehari-hari, makan dan minum hanya mengandalkan pemberian tetangga dan bercocok tanam alakadarnya di belakang rumah. Tidak mendapatkan uang pensiun.

“Data-data bapak kurang lengkap. Tolong lengkapi dan kembalilah ke sini lain waktu, agar bapak mendapatkan pensiun.”
“Aku tidak mau kembali kawan!” pak tua mengerutkan dahinya, tangannya memegang potret usang.
“Harusnya kamu perjuangkan pak tua!” ujar potret.
“Biarlah. Tidak puaskah kamu dengan persahabatan kita, kebersamaan kita?” tatap pak tua.
“Tapi,”
“Sudah diam potret usang!” pak tua geram.
Potret, diam sejenak. Tidak lagi mengajak bicara pak tua yang tampak bingung.

Derik  suara  kendaraan penghancur mulai terdengar,  riuh  rendah bersahutan  dengan  teriak  dan  percekcokan.  Penduduk  berusaha bertahan, menentang pengeksekusi.

“Kita harus pergi, Potret bodoh!” teriak pak tua.
“Jangan, Pak Tua! Lawanlah mereka! Bukankah kamu seorang pejuang?” teriak potret usang.
“Benar juga. Masa aku harus diam diri ketika martabatku dinjak-injak!” pak Tua mengepalkan tangan.
“Bagus, lawanlah kedzaliman! Ketidakadilan!” potret usang berteriak lantang, memberi semangat.

***

“Tangkap kakek gila itu! Dia nekat mau bunuh diri!” teriak petugas.
“Aku tidak gila! Aku hanya butuh keadilan!” teriak pak tua.
“Kamu bodoh, Pak Tua! Jangan bicara, tembak saja mereka.” perintah potret usang.
“Baik akan saya tembak mereka!” pak Tua mengambil senapan, lalu berteriak.
“Kenapa mereka tidak takut, Pak Tua? Ambil saja parang habisi mereka cepat!” perintah potret.
“Baik, kubunuh kalian!” pak Tua mengayunkan parang.
Parang itu diayunkan kearah petugas.
“Awas!”

Dar…tembakan tak pelak lagi bersarang didada mantan pejuang. Perlahan pak Tua roboh, tangan kanannya memegang luka bekas peluruh nyasar yang berdarah-darah.
“Merdeka! Merdeka atau mati! Merdeka!” teriaknya sambil mengerang kesakitan.
“Bodoh, kamu pak Tua! Mati konyol kamu!” teriak potret.
“Diam kau potret! Omong kosong, biar ku lempar kamu!” pak Tua berusaha mengambil potret sang pejuang, lalu dilemparnya jauh-jauh.
“Jangan dilemparkan, Pak Tua! Bukankah aku masa lalumu….?”
“Kau tidak berguna! Kau membawaku jadi melarat! Aku berdarah-darah…aku sakit…” Pak Tua, roboh terlentang. Matanya yang sudah lamur dan hampir padam menatap langit-langit rumah.

Mungkin tidak lama lagi akan ambruk, bersama cita-cita, harapan dan semangat juangnya yang tidak pernah pudar.
“Hahaha…kamu sekarat, Pak Tua! Pergilah bersama aku!” suara potret masih terdengar.
“Kamu lagi! Aku muak…”

Darah, mulai bersimbah. Mata Pak Tua terbelalak menatap lelaki muda berseragam tentara keluar dari bingkai potret usang, menarik tangan membawanya terbang ke atas awan putih yang berlapis-lapis. Laksana burung dara yang beterbangan di pagi hari.***

Read Full Post »

Perempuan Sampah

Oleh Herdi Pamungkas

Perempuan muda berdiri diantara gundukan sampah yang menggunung. Matanya menatap ke atas langit yang berwarna jingga keemasan. Di atas untaian awan yang berwarna keemasan terdapat singgasana dan istana sang pangeran pujaannya.

Senja sebentar lagi sirna seiring dengan datangnya malam. Gelap malam yang dinantinya, menanti pangeran sampah teman kencan paling setia. Akan turun dari langit diiringi nyanyian bintang-gemintang, selanjutnya akan menapaki permadani putih bersulamkan emas terbuat dari kepulan asap sampah yang dibakar. Pangeran tak lama lagi akan tiba di atas gunung sampah.

Gunung sampah merupakan bukit terindah yang ia daki tiap hari, ketika matahari terbit, siang hari, saat terbenam. Beserta taman sampah yang ia miliki dan diami. Terindah tempat menghabiskan masa kecil dulu. Ketika masih berada dalam buaian Ibu sampah yang telah merawat dan membesarkannya tanpa susah payah, hingga dewasa.

Ibu sampah kini berganti rupa menjadi pangeran sampah, yang selalu setia menghibur, memeluk dan mengencaninya dengan penuh kasih sayang. Seperti gadis-gadis sebaya dengan dirinya.
Bau busuk yang menusuk hidung pertanda pangeran sampah akan tiba, aroma tubuhnya tercium dari kejauhan. Rona muka perempuan muda tampak ceria, sang pangeran pujaan segera tiba dengan membawa seuntai kebahagian. Yang akan dipersembahkan pada dirinya seorang.

Pangeran sampah yang ditunggunya sejak tadi kini telah tiba. Turun dari langit menapaki permadani yang terbuat dari kepulan asap sampah terbakar.

Pangeran berdiri tegak dihadapannya, tersungging senyum dari bibirnya yang tipis. Matanya yang menyejukan menatap penuh kasih sayang. Raut mukanya yang tampan tampak ceria, seceria Perempuan muda kekasihnya.

Mereka berpelukan dengan sangat mesra. Lalu duduk-duduk dikaki bukit berbagi cerita tentang hari kemarin, esok dan yang akan datang. Tentang kehidupan yang tidak perempuan itu pahami, meskipun tidak pernah detail untuk dapat memahami. Mengenai kehidupan, kasih sayang dan cinta.

Perempuan muda tidak lupa berbicara tentang istana kardusnya yang dibangun sendiri. Istana kardus terindah, satu-satunya yang perempuan muda miliki. Didalamnya bertahtakan singgasana rongsokan terindah, yang orang kirimkan melalui mobil truk berwarna kuning keemasan. Tak luput dari wewangian aroma sampah busuk yang menusuk-nusuk hidung.

Malam semakin larut, perempuan muda memeluk pangeran sampah dengan erat. “Jangan tinggalkan aku.” desisnya.

“Tidak akan…” pangeran sampah tersenyum, dengan dekapan kasih sayang.

Istana kardus hening sejenak. Udara malam semakin dingin. Penghuni istana sedang menikmati malam, melayang-layang bersama khayal dan kepulan asap pembakaran sampah. Membumbung keangkasa, menyelinap diantara gumpalan mega. Bersama khayal memetik bintang gemintang yang berkerlap-kerlip.

***

Perempuan muda, berdiri dipuncak gunung sampah. Raut muka tidak gembira. Sudut matanya mulai menitikan buliran air, mengalir lalu jatuh tepat di bawah kakinya.

“Pangeran, jangan tinggalkan aku.” tangisnya. Tangannya yang lembut mengusap-usap perutnya yang agak gemuk. “Ini semua bukan salahku..”

Tatapan matanya yang kosong mengingatkan kejadian yang menyebabkan tubuhnya berbadan dua. Ketia dirinya suatu malam kesunyian, berandalan datang memaksa dan merampas segalanya. Di istana kardus yang sepi serta sunyi senyap.

Waktu itu pangeran sampah tidak kunjung datang menolong dan bertindak seperti pahlawan. Hingga kini tidak kunjung tiba. Seakan-akan sudah melupakan dirinya yang selalu menyendiri tanpa kasih dan sayang.

“Pangeran,” lamunannya mulai buyar. Setelah terasa aroma bau busuh-menusuk hidung. Matanya mendongak ke atas. Yang ditunggu ternyata.

“Jangan bersedih, bidadariku.” Pangeran sampah menengadahkan tangan, seakan-akan mau menyambut pelukannya.

“Jangan tinggalkan aku.” kakinya bergerak mendekat. “Bawalah aku pergi dari sini! Di istanamu yang lebih indah dari istana kardusku, aku ingin selamanya berada dalam pelukanmu.” perempuan muda, lalu loncat. Menyambut datangnya sang pangeran, yang selalu memberi kehangatan, kebahagian dan kasih sayangnya.

***

Pagi itu polisi, para pemulung dan petugas kebersihan berkerumun dibawah gunung sampah. Mereka dikejutkan oleh sesosok mayat wanita muda, yang mati terlentang dengan luka dikepala. Perempuan muda itu diduga bunuh diri dan lompat dari ketinggian untuk membenturkan kepala pada tumpukan besi rongsokan yang berada di bawah gunung sampah.

“Perempuan itu bunuh diri karena sebatangkara,” celetuk petugas kebersihan.

“Bukan, dia frustasi karena ada yang menghamili.” tukas salah seorang pemulung.

“Padahal salah dugaan mereka. Kami sedang menikmati keindahan istana sampah yang abadi,” sungut perempuan muda, matanya menatap kerumunan orang. Tubuhnya terbang melayang dalam pelukan sang pangeran.***

Bandung, 21 Maret 2007

Read Full Post »

Senja di Penghujung Jalan

Oleh Herdi Pamungkas

Lelaki tua itu terus berjalan, menelusuri panjangnya jalan. Tiap langkahnya beraturan, dari langkah, demi langkah. Ke langkah berikutnya. Meskipun sangat berhati-hati dalam setiap langkahnya, agar tidak keliru dalam menghitung.

Langkah lelaki tua itu hampir tak terhitung sudah berapa kilometer berjalan. Namun panjangnya jalan belum juga terhabiskan. Etah berapa jauh, dan berapa kilometer lagi panjang jalan yang mesti ditempuhnya. Dan peristiwa apa pula yang akan teralami disepanjang perjalanan.
Jalan masih terlihat panjang dan jauh, namun sayang hari mulai senja. Matahari mulai tergelincir ke punggung bukit, senja pun mulai tiba. Langit berwarna jingga, mengirimkan sebagian sinarnya yang ke emasan ke atas dedaunan. Terlihat sangat indah senja di punghujung jalan.
Lelaki tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sorot matanya yang agak layu menatap penghujung jalan. Namun dimana penghujung jalan itu? Ternyata jalan itu seakan-akan tidak ada penghujungnya. Keningnya dikerutkan, seolah-olah benaknya sedang memikirkan sesuatu. Wajahnya yang sudah mulai tampak menua, ada tanda dan garis-garis kalau selagi masa mudanya dia seorang lelaki berwajah tampan. Kini tinggal garis-garis keriput, penuaan.
“Mungkin, penghujung jalan inikah yang dimaksudnya?” lagi lelaki tua itu mengernyitkan dahinya.
Awan jingga ditatapnya dalam-dalam. Tampak berlapis-lapis bagaikan singgasana kerajaan langit yang teramat indah. Lalu ditepis angin bentukpun berubah lagi, sebentuk wajah perempuan cantik berambut ikal keemasan.

Perempuan itu laksana bidadari yang baru turun dari kahyangan, dengan anting-antingnya, emas bertahtakan permata. Pakaiannya yang trasnfaran membalut tubuh molek terbuat dari sutra merah bersulamkan benang emas dan pernik-pernik mutiara. Lelaki tua itu tersenyum, karena itulah yang ditunggu-tunggunya. Sosok perempuan cantik yang telah dikenalnya puluhan tahun lalu. Inikah penantian yang dijanjikan kekasih idaman hati.

Garis-garis air muka yang keriput, kini tidak lagi bersedih. Kedua tangannya terbuka menyambut kekasih yang telah lama dinantikan, untuk sebuah pertemuan yang sangat ditunggu-tunggu.
Lalu lelaki tua itu mendekat, selangkah. Dan selangkah lagi, tangannya menggapai, menyambut tangan sang bidadari yang semakin mendekat. Semakin terlihat cantik, bercahaya dan teramat cantik.
“Lama kita tak jumpa. Di kahyangan mungkin lebih indah?” desis lelaki tua yang semakin mendekat.
Perempuan cantik itu hanya melemparkan senyum, yang selalu dikenangnya puluhan tahun lalu. Tersirat kecantikan abadi seakan-akan tidak pernah pudar dilanda jaman, dan waktu yang berlalu begitu teramat lama.

***
Pertemuan sepasang kekasih di ujung jalan, yang tak berujung. Mungkin pada kaki bukit? Keduanya berucap janji utuk saling setia, sehidup semati. Kedua remaja memadu kasih, merajut cinta, berjanji untuk saling mencinta sepanjang masa. Merajut cinta abadi yang tidak sirna dilanda jaman, tidak musnah dihantam badai, tidak surut dihempas masa. Cinta abadi dan janji setia.

Hingga mereka menuju pelaminan, kebahagiaan tersirat pada jiwa keduanya. Memulai hidup baru, menjalani bahtera rumah tangga yang penuh kasih.
Keduanya berjalan, pada jalur kehidupan yang teramat indah. Menepi dan berjalan keduanya beriringan, terkadang bergandengan tangan. Hingga cinta keduanya berbuah tiga orang putra dan putri. Namun setelah kelahiran anaknya yang ketiga, istrinya berpamitan untuk pergi pada keabadian.

Harta yang berlimpah ruah, hasil jerih payah sang suami dalam jalan hidup. Kadang bersenggolan kesana-kemari, hingga sentuhan hukum pun bisa dihindarinya. Melesat pada jalur dan jalan pelarian, yang sulit untuk menemukan sebuah ujung. Bagi mereka yang mengejarnya. Namun sayang itu semua, tidak bisa menghalangi niat istrinya untuk pergi pada senja yang sama, menelusuri ujung jalan, untuk selanjutnya menanti di ujung jalan. Pada senja yang sama.
Lelaki itu menangisi perempuan cantik yang teramat disayanginya, karena kepergian. Pergi menuju sebuah keabadian, cinta yang telah terpahat dalam jiwanya. Prempuan cantik yang teramat dia puja, yang teramat dia manjakan, yang kini tiada menyapa. Tidak ada lagi senyum yang tersungging dimulutnya. Lalu harapan hidup lelaki itu seakan musnah dan pudar.

Sampai waktu pun terus berjalan, penantian dan perjalannanya untuk menemukan ujung jalan pada senja hari yang dinantikan.
Penantian yang terlalu lama, seakan-akan melupakan ketiga anaknya tumbuh menjadi dewasa. Jiwanya tidak setabil, terganggu oleh ingatan yang selalu memenuhi benaknya. Pertemuan dengan sang kekasih, dan pertemuan itu pada senja hari di ujung jalan.

***

Lelaki tua itu terngiang akan janji kekasih tercintanya, untuk kembali menemuinya senja hari di ujung jalan.
“Kini kau telah kembali, kekasihku.” langkahnya terus melaju. Tangannya mulai berhasil meraih tangan sang bidadari yang teramat cantik nan elok.

Sang bidadari kekasihnya masih menengadahkan tangan menyambutnya.
Lelaki tua itu berdiri dibibir tebing yang teramat curam.

Keyakinannya akan sebuah janji dan penantian, harus segera meraih dan memeluk sang kekasih yang sangat merindukan dirinya. Kemudian lelaki tua itu bergerak dan merengkuh sang bidadari kekasihnya. Meloncat dengan tenaga sepenuhnya, agar bisa memeluk erat sang kekasih, yang terlihat selalu cantik dan muda.***

Bandung, 21 Februari 2007

Read Full Post »

Merah Mawar

Oleh Herdi Pamungkas

Angin kencang mulai bertiup, dengan kecepatan tinggi. Dedaunan meliuk-liuk, dahan dan ranting tidak kuat menyangganya, dahan pun patah terbang ke segala arah. Tak lama kemudian pohonpun tumbang menimpa rumah penduduk dan kendaraan yang sempat diparkir dibawahnya, diterpa angin yang sangat dahsyat. Orang menyebutkan angin topan kaemi.

Setelah itu keadaan menjadi carut marut, batang pohon tumbang berserakan. Beberapa bangunan roboh, pecahan kaca, tumbukan genting, juga beberapa kendaraan penyok, tidak lagi bisa beroprasi. Rusak berat.

Seorang lelaki bertubuh tambun, dengan kemeja saparinya yang lusuh dan compang-camping berusaha keluar dari reruntuhan sebuah bangunan mewah. Terlihat tangan dan kakinya berdarah, juga ada luka dikeningnya dengan darah mulai mengering. Tangan kanannya yang sudah berdarah-darah berusaha meraih tas persegi serupa laptop.

“Tolong…!” suaranya yang nyaris tidak terdengar meminta pertolongan. Sementara amukan angin topan kaemi baru saja mereda.

Regu penolong, keamanan kota, para dokter belum datang di lokasi bencana. Angin kematian pun telah menjemput orang-orang yang berada di sekitar lokasi. Sejenak keadaan dingin mencekam, hanya mereka yang masih diberi kesempatan untuk hidup dan mengalami luka parah atau pun ringan terdengar mengerang-erang, menahan sakit. Juga lelaki tambun berbaju sapari.

Selang beberapa jam kemudian regu penolong baru datang, tim dokter dan suara sirine ambulans terdengar memilukan. Kesibukan mulai terlihat, antara penolong, yang ditolong dan maling memanfaatkan keadaan.

Lelaki tambun berbaju sapari mulai mendapat pertolongan dari tim penyelamat, langsung dinaikan ke dalam ambulans untuk segera mendapat perawatan di salah satu rumah sakit yang selamat dari amukan angin topan kaemi. Sebelum memasuki ruang VVIP, singgah sebentar diruang ICU.

Dua hari kemudian harus masuk lagi ke ruang ICU, karena terjadi perdarahan di otak, bahkan lelaki itu pingsan. Sempat dinyatakan koma. Sanak saudara, kerabat, para kolega, serta orang yang berkepentingan dan berbeda kota datang menjenguk. Seraya menyampaikan belasungkawa.

Lelaki tambun, itu hanya terkulai tak berdaya di atas ranjang rumah sakit ruang ICU, tidak bisa membalas orang yang turut berbela sungkawa. Hanya selang infus yang terlihat, serta grafik kehidupan dilayar monitor terlihat lemah. Memperlihatkan tanda-tanda kehidupan yang masih bersarang dalam jasadnya, yang mereka perhatikan dalam keadaan tak sadarkan diri.

“Aku ini ada dimana?” lelaki tambun itu bangun. Tangannya menggapai-gapai cari pegangan. Keadaan gelap gulita, mukanya. Tiba-tiba dari kegelapan langit tampak cahaya sangat menyilaukan mata, diikuti oleh suara bergemuruh dan petir yang menggelegar memekakan telinga. Kilatan cahaya berwarna merah mawar bagaikan kilangan minyak membelah langit. Matahari, rembulan, planet dan bintang-gemintang bertabrakan satu sama lainnya. Pecahan bara yang sangat panas menyembur dengan warna merah mawar yang menakutkan. Menuju ke arahnya.

“Tolonnnngggg…!” lelaki tambun itu hanya bisa berteriak. Meminta tolong dan mencari tempat untuk berlindung. Namun sayang, tidak ada satu pun tempat yang bisa dijadikan perlindungan apalagi untuk bernaung.

Terlihat, dari kejauhan. Ada lelaki tua yang berbaring dengan tenang dihalaman sebuah gubuk reot. Atap dan rumah tadi tidak pernah bisa tersentuh oleh bongkahan batu panas yang membara.

“Lelaki tua itu yang pernah aku gusur gubuknya! Mereka adalah dari sekian banyak orang yang telah aku buat menjadi menderita, kehilangan tempat tinggal serta terberai dari keluarganya. Aku telah berbuat dzalim pada orang lain, demi tercapainya sebuah proyek…” lelaki tambun tetunduk, seraya menggigil ketakutan tertimpa bongkahan batu panas membara.

***

Lelaki bertubuh tambun itu setelah enam bulan lamanya berada di rumah sakit. Kini terduduk di kursi roda karena menderita lumpuh, akibat perdarahan di otak.

Kursi roda di dorong oleh seorang perawat mengitari pelataran rumah dengan luas satu hektar, lengkap dengan penataan aman rapih, indah, asri, dan menyenangkan. Tidak lama kemudian berdatangan para tamu berdasi dan bersafari.

“Hentikan proyek! Kembalikan tanah pada mereka, yang pernah kita dzalimi!” ucapnya, lalu menunduk.

“Kenapa?” para tamu, seraya bertanya kaget. Kening mereka berkerut. Seakan-akan tidak percaya pada ucapannya.

“Tidak perlu bertanya…kenapa!” lelaki bertubuh tambun tadi tubuhnya oleng. Seraya mau terjatuh dari kursi roda, akhirnya tidak sadarakan diri.

“Larikan ke rumah sakit!” teriak salah seorang tamu.
ŠNamun hanya sampai disitulah akhir kehidupan lelaki bertubuh tambun tersebut. Diperjalanan menuju rumah sakit, nyawanya telah pergi meninggalkan jasad. Telah kembali kepada-Nya. Harus menghadap kepada Yang Maha Kuasa, bersama tanggungjawabnya dalam kehidupan yang telah dilaluinya.***

Bandung, 16 Oktober 2006

Read Full Post »

Perempuan Pemuja Syetan

Oleh Herdi Pamungkas

SEKERAS baja, sekuat beton, menyeruak membedah jagat raya mengoyak rimbunnya belantara. Mengguncang gunung yang hampir saja meledak mengeluarkan semburan lava, mengalir mencari celah. Menghangatkan suasana dingin, mencairkan kebekuan.
Menyembur secara teratur terjuju pada satu titik yang lebih rendah, menyuburkan tanaman disekitar lembah.

Perempuan itu kelelahan. Lalu tertidur pulas, diantara dipan yang berserakan. Bantal guling, kain tidak rapih, selimut yang tidak menutupi. Dan tetesan embun dibeberapa bagian tubuhnya tidak dihiraukan.

***

Perempuan berkulit putih, rambut ikal bergelombang, hidung mancung, tinggi semampai. Perlahan berdiri di depan cermin di sudut kamar. Matanya menatap tajam gambar diri dihadapannya, sesekali tersenyum merasa bangga akan kemolekan tubuhnya. Namun terkadang kerut sedih tergambar di wajahnya, seraya tangannya mengelus perut yang mulai mengembung.
“Aku hamil,” perlahan buliran air menetes dari ujung matanya, membasahi pipi lesung pipitnya.
“Tidak perlu menyesal perempuan bodoh!” teriak guling yang tergeletak di tepi kasur.
“Kenapa kamu memaki aku, guling dungu?” ucap perempuan.
“Aku hanya mengingatkanmu! Kamu bodoh!”
“Diam! Guling keparat, sekali lagi sumpahi aku ku robek kau!” perempuan itu mendekat lalu mengambil guling, dicengkram dan dipukul berkali-kali.
“Aku datang sayang, kenapa berteriak!” pintu kamar didorong dari luar oleh seorang lelaki berdada bidang dan bertubuh kekar, berambut pendek.
“Aku kira kamu akan pergi meninggalkanku?” perempuan itu lalu menyambutnya.
“Tidak mungkin, aku sangat menyayangimu.” lelaki berambut pendek mendekat. Memegang tangan perempuan yang baru saja melepaskan cengkramannya pada bantal guling.
Perempuan itu tersenyum bahagia, karena lelaki pujaan mengajaknya terbang melayang-layang, bagai sepasang dara yang menembus awan jingga berlapis-lapis. Kemudian keduanya menukik turuni lembah, hinggap sejenak diatas ranting memadukan merdunya suara. Akhirnya bertengger di puncak ketinggian menyaksikan semburan lahar yang menyembur, tanpa menyakiti dan melukai keduanya, malah mereka tersenyum bahagia. Wedus gembel.

***

Beberapa bulan kemudian perutnya semakin membesar. Perempuan itu sudah tidak berani keluar rumah, apalagi berangkat kuliah. Hari- harinya semakin suntuk di ruang kamar kosan yang tidak terlalu luas ditemani bantal guling dan cermin yang sering memaki.
Lelaki pujaannya yang selalu menghibur dan mengajaknya terbang ke angkasa tidak pernah kunjung tiba, selain menyampaikan pesan pendek “selamat tinggal” aku sekarang berada di luar negri. Setelah itu nomornya, menghilang tidak aktif untuk selama-lamanya.
“Perutku semakin besar, aku malu!” perempuan itu berdiri didepan cermin memandangi dirinya.
“Kenapa mesti malu bodoh! Bukankah itu yang kamu inginkan?” ucap bantal guling.
“Tidak, yang aku inginkan adalah kebahagian. Bukan kehamilan yang teramat memalukan!” teriak perempuan itu, kedua tangannya garuk-garuk kepala, sehingga rambutnya berantakan.
“Kamu sekarang baru merasa malu! Tidakah kamu merasa malu ketika berbuat!” tanya guling.
“Aku malu pada orang, kalau mereka tahu perutku membesar diluar nikah.” ucap perempuan itu.
“Tidakah kamu merasa malu juga ketika disaksikan oleh aku!” ujar guling.
“Iblis, kamu hanya bantal guling. Kenapa harus malu!”
“Aku kau katai Iblis, perempuan! Bukankah kamu pemuja syetan?” ujar bantal guling.
“Diam!” perempuan itu berteriak, lalu mengambil gunting dari laci, dihunjamkan kearah bantal guling hingga robek-robek.
“Perempuan pemuja syetan, mampus kau!” bantal guling membalas perlakuan perempuan itu, hingga membalikan arah gunting.
“Akhhhh..!” perempuan itu berteriak kesakitan, diperutnya menancap ujung gunting yang tajam, lalu tubuhnya roboh menindih bantal guling yang sudah robek berserakan. Keduanya bermandikan darah.***
 
Bandung, 17 September 2007

Read Full Post »