Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Maret, 2011

Oleh Herdi Pamungkas

Tubuh telentang dibaringkan di pelataran Padepokan. Berlari menemui rombongan Demak yang berada di atas bukit. Menghampiri Sunan Kudus dengan tasbih di tangan kiri serban serta jubahnya berkelebatan ditiup angin. Pandangannya tertuju ke dinding batu padas.

“Kanjeng,”

“Pangeran?”

“Ketiwasan.”

“Ketiwasan? Bukankah pertarungan masih berlangsung? Hanya sayang mata batin saya tidak sanggup menembus batu padas.”

 “Maksud saya bukan mereka.”

“Lalu?”

“Dimas Modang, Kanjeng.”

 “Kenapa dengan dia? Bukankah dari tadi telah menuruni bukit mengikat sambil memukuli gedebog pisang?”

“Dia kini pingsan. Selain berperilaku aneh…” Pangeran Bayat menjelaskan.

“Celaka! Mari kita hampiri!” langkah Sunan Kudus mendahului Pangeran Bayat menuruni bukit.

“Itulah Kanjeng! Dia belum sadarkan diri.” memegang pergelangan tangannya.

“Aneh, Pangeran?” berjongkok.

“Harus segera disadarkan,”

“Ya, tentu.” telapak tangan Sunan Kudus mengusap muka sang pangeran bibirnya komat-kamit.

“Aaaa…apa!” tersentak, sorot matanya beringas beradu dengan sang wali. “Andika Syekh Siti Jenar? Mau membunuh saya?”

“Kanjeng?”

“Pangeran saya juga kurang paham,”

“Andika muridnya Syekh Siti Jenar, mau mengeroyok saya?” bangkit, mundur beberapa langkah, tangan kanannya menggenggam kepala keris yang masih tersarung.

“Kanjeng, tampaknya dia masih belum mengenali kita.”

“Benar,”

“Apa yang harus kita lakukan jika tiba-tiba menyerang?”

“Mundur kalian! Jika tidak akan saya habisi!” keris terhunus dalam genggaman kuat kedua tangannya, diacungkan di depan muka.

“Dugaan saya benar. Dia menyerang,” mundur beberapa langkah, “Haruskah melawanya?”

“Jangan! Dia tidak menyadari akan perbuatannya.”

“Tapi, hait…” berusaha loncat menghindari sabetan keris. “Bagaimana, Kanjeng?”

“Temui Kanjeng Sunan Bonang!”

Bersambung…..

Read Full Post »

Oleh Herdi Pamungkas

“Kang Mas, mengapa tanganmu berlumuran darah?” terperanjat.

“Mana darah ?” mengerutkan kening, pandangannya tidak beranjak dari wajah pucat pasi ketakutan.

“Tangan, wajah, tubuh kakang berdarah…? Mengapa Kakang tidak merasakan sakit? Sebaliknya malah bertanya?” semakin menjauhi.

“Dimas?” yang ditanya semakin bingung, berkali-kali memandang tangan serta tubuhnya lalu menatap lagi.

“Apakah Syekh Siti Jenar yang melukai Kakang? Lalu dimana rombongan kita?”

“Aneh?” Pangeran Bayat gelengkan kepala. “Apa sebenarnya yang telah terjadi, Dimas? Tidakah melihat rombongan kita berada di atas bukit?”

“Kakang yang aneh? Sedang apa mereka di atas bukit? Bukit yang mana?”

“Dimas? Bukankah mereka sedang menyaksikan pertarungan Syekh Siti Jenar dengan Kanjeng Sunan Kalijaga? Mengapa dimas lupa?”

“Jangan mendekat! Darah itu, darah itu, mengapa kakang tidak merasakan sakit?”

“Darah yang mana? Siapa pula yang berdarah-darah?” berusaha meraih bahu, “Jangan menjauh!”

“Tidak….” terpeleset, jatuh telenlang di atas rumput hijau.

“Rupanya pingsan?” telapak tangannya mengusap kening, terasa panas. “Sakitkah dia?” mencoba mengingat sebelum peristiwa terjadi.  Terbayang ketika Pangeran modang mengikat sebongkah gedebog pisang lalu memukuli serta menyeretnya sendiri menuruni padepokan.

“O, itu rupanya. Tapi mengapa dia berbuat aneh…?”

Bersambung….

Read Full Post »

Padepokan Syekh Siti Jenar telah kosong. Tiada ada tanda-tanda manusia apalagi bekas pertarungan. Pohon berdiri tegak dengan daun-daun rimbun, pelataran tak tersentuh sehelai daun kering pun yang terjatuh.

“Hening?” Pangeran Modang memandang setiap sudut, “Aneh? Bukankah rombongan dari Demak tadi di sini?”

Mengitari bangunan yang biasa dijadikan tempat berkumpulnya pengikut Syekh Siti Jenar. Tiada seorang pun, pintunya tertutup rapat.

“Mengapa ini terjadi? Apakah saya berada dalam mimpi ataukah alam nyata?” mencoba menapar pipinya, “Aduhhhh…”

Pangeran Modang mengelus pipinya yang telah memerah kena tampar. Pikirannya berusaha menerjemahkan yang dialaminya. Jari-jemarinya berkali-kali meremas kepala yang tertutup blangkon. Kerut keningnya berlipat tiga.

Setengah menjatuhkan pantatnya duduk di halaman, punggung disandarkan pada pohon damar yang tinggi menjulang. Matanya sekuat tenaga dipejamkan. Pandangan mulai lenyap selain gelap yang menyelimuti.

Berusaha meredakan amarahnya yang terus bergolak, mencari ketenangan dan keheningan jiwa sehening keadaan sekitarnya. Angin sepoi-sepoi pegunungan membuka pori-pori yang terbakar api amarah, masuk merembas mendinginkan.

Dalam keadaan jiwa tenang, alur amarah mulai terkendali. Perlahan keaadaan yang terbakar amarah semakin tenang. Telinga Pangeran Modang mulai mendengar suara-suara yang berbincang. Terompah semakin mendekat, terasa bahu kirinya berada dibawah genggaman tangan yang kuat.

“Dimas, Apa yang telah terjadi?”

Matanya perlahan dibukakan, tertuju pada pemilik suara. Betapa terkejutnya ketika melihat orang yang berdiri disampingnya.

Bersambung……..

Read Full Post »